Sastrawan Kesayangan Tuhan

Edisi: 26/43 / Tanggal : 2014-08-31 / Halaman : 60 / Rubrik : MEM / Penulis : Ananda Badudu, Dody Hidayat,


Dikaruniai usia panjang, Ali Audah dijuluki oleh penulis Gerson Poyk sebagai "Sastrawan Kesayangan Tuhan". Gerson mengucapkan itu dalam acara Perayaan 90 Tahun Ali Audah sekaligus peluncuran buku 90 Tahun Ali Audah: Yang Berjalan Menyalakan Cahaya: Legenda Zaman Kita di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, pada 14 Agustus lalu, tepat sebulan setelah Ali berulang tahun ke-90.

Tak ada gelar akademis yang bersanding dengan nama Ali. Sastrawan, kolumnis, dan penerjemah ini mengenyam pendidikan formal hanya sampai kelas I madrasah ibtidaiyah. Berkat ketekunan yang luar biasa, Ali berkembang menjadi penulis andal, bahkan menjadi dosen luar biasa. Ia menguasai empat bahasa asing: Arab, Inggris, Prancis, dan Jerman. Semua dipelajarinya secara otodidak. Sepanjang hidupnya, Ali telah menerjemahkan tafsir Quran, biografi Nabi Muhammad, dan karya-karya sastra kelas dunia. Kualitas terjemahan Ali membuat dia menjadi panutan tokoh-tokoh sastra Tanah Air. Berikut ini penuturan Ali Audah tentang riwayat hidupnya kepada Tempo.

Ada yang berbeda di rumah baru sastrawan dan penerjemah terkemuka Ali Audah di Perumahan Bogor Baru, Kota Bogor, Jawa Barat. Dinding-dindingnya yang bercat putih bersih bisa terlihat jelas. "Di rumah yang dulu, dindingnya tak terlihat karena tertutup buku," kata Ali ketika ditemui Tempo, Senin awal Agustus lalu. Di rumah asri itulah Ali tinggal bersama istrinya, Maryam Audah, 78 tahun, yang dinikahinya pada 1952. "Kami baru dua bulan tinggal di sini," ujar Ali.

Pada usia yang hampir seabad itu, Ali masih leluasa berjalan ke sana-kemari tanpa tongkat. Tiga kali sepekan, Selasa, Kamis, dan Sabtu, ia menyempatkan diri berjalan kaki keliling kompleks selama 40 menit untuk membuatnya tetap bugar. Kesehatan ia jaga dengan cara sederhana: banyak makan buah dan sayur. "WHO merekomendasikan makan sayur dan buah 180 gram, saya 350 gram," katanya bangga. Walhasil, ia tak perlu tongkat untuk membantunya berjalan. Asalkan tak ada tangga, Ali bisa berjalan meski perlahan-lahan.

Persoalan tangga itulah yang membuat Ali pindah ke rumah baru. Di rumah lama, yang terletak sekitar 200 meter dari rumahnya kini, ruang kerja Ali terletak di loteng. Untuk ke sana, ia harus menaiki banyak anak tangga. "Dulu masih bisa, sekarang sudah agak sulit," ujar Ali. Selain persoalan tangga, fisik Ali baik-baik saja. Bicaranya lantang. Pendengarannya baik. Bahkan wajahnya masih kinclong. "Banyak orang yang mengira usia saya 70 atau 80 tahun," katanya. Penulis Gerson Poyk menyebutnya "Sastrawan Kesayangan Tuhan" karena umurnya yang amat panjang.

Tempo menemui Ali dalam empat kesempatan sepanjang Juli-Agustus 2014. Tiga kali di rumahnya dan pertemuan terakhir terjadi di Komunitas Salihara, ketika sastrawan dan penulis sahabat-sahabatnya, Leon Agusta, Gerson Poyk, Sapardi Djoko Damono, Toeti Heraty, Benny H. Hoed, Taufik Abdullah, Ahmad Syafii Maarif, Rahayu Surtiati Hidayat, Remy Sylado, Goenawan Mohamad, dan lain-lain, berkumpul merayakan ulang tahunnya yang ke-90.

"Saya…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…