Lebih Suka Melihat Ke Depan
Edisi: 06/21 / Tanggal : 1991-04-06 / Halaman : 43 / Rubrik : MEM / Penulis : Leila S. Chudori, ,
Jenderal Soemitro: Lebih Suka Melihat ke Depan
Jenderal (purnawirawan) TNI AD, yang lahir di Probolinggo 13 Januari
1927 ini menyatakan bahwa pada tahun 1933, generasi pengganti-pengganti akan bermunculan. Ia pernah menjabat Panglima Kalimantan Timur. Berbagai jabatan penting pernah dipangkunya. Terakhir sebagai Panglima Kopkamtib Wapangab. Sempat melangit pada masa peristiwa Malari. Ketika hendak dijadikan dubes AS, ia memilih mengundurkan diri. Beliau kini menjadi pengusaha dan pembaca Alvin Toffer yang mengaku selalu optimistis. Sebagian riwayat hidupnya di bawah ini dituturkan kepada Leila S. Chudori atas permintaan TEMPO.
DI LAPANGAN Golf yang hijau membentang, saya mencoba berkonsentrasi. Tiba-tiba, seorang kawan mengatakan ''tembak!" Menggelegak hati saya. "Saya tidak bisa menembak! entak saya. Kata 'tembak' itu milik masa lalu saya. Saya bukan tentara lagi. Dan kata itu seolah bertentangan dengan batin saya.
Pada dasarnya, saya adalah orang yang lebih suka melihat ke depan. Saya sangat senang meramal apa yang akan terjadi dalam tingkat mikro maupun makro. Itulah sebabnya saya suka membaca buku-buku Alvin Toffler. Dalam melihat apa yang akan terjadi, saya juga memilih bersikap optimistis. Misalnya pada tahun 1993 nanti akan muncul generasi pengganti-pengganti yang masih segar dan muda.
Generasi yang sekarang sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Kehidupan konstitusional telah dikembalikan, kita selamat dari PKI,
toleransi beragama diciptakan, dan stabilitas nasional dipertahankan. Pak
Harto sudah sangat berhasil menciptakan itu semua. Menurut saya, generasi yang akan mengisi tahun 1993 nanti harus mulai berani terbuka dan bersiap diri. Ini sudah zamannya exercise dengan otak dan intelektual, bukan dengan otot lagi. Kita harus berani keluar dengan visi dan persepsi baru.
Jika saya menengok kembali setelah 64 tahun, saya mengalami begitu banyak pengalaman baik yang manis maupun yang penuh penderitaan. Saya sudah mulai tua dan saya tidak ingin dihadapi masalah hidup lagi. Dan saya tak pernah menyesali apa yang pernah terjadi ....
Suatu saat sebelum Agresi Belanda I, tahun 1947, saya duduk-duduk di
bawah pohon kopi di perkebunan Kertosastro, di Dampit, Malang Selatan. Bersender sembari memejamkan mata. Wajah ibu saya berkelebat terus. Tanpa saya sadari, saya mengucapkan, "Ibu sudah tidak ada ....''
Ketika ada keputusan gencatan senjata, saya ke Probolinggo. Dan baru
saat itulah saya ketahui bahwa Ibu betul-betul sudah tidak ada. Rupanya, beliau meninggal karena mendengar berita-berita yang menyusahkan hatinya. Ibu saya mendengar bahwa kakak lelaki saya satu-satunya, Mas Mudji, terpegang Belanda. Menyusul lagi berita yang sengaja dilontarkan oleh Belanda bahwa saya gugur. Ternyata, justru Ibu yang meninggalkan kami semua. Saya, Mas Mudji serta ayah saya Sastrodiardjo hingga kini masih hidup.
Sebenarnya, ibu saya, Meilaeni pernah punya keinginan agar saya menjadi dokter. Tak ada yang pernah membayangkan bahwa saya akan terjun ke militer. Ayah saya bekerja sebagai kasir kepala pabrik gula Gending. Dan memang saya lahir di pabrik gula Gending, Desa Sebaung, Kecamatan Gending, Kawedanan Gending, Kabupaten Probolinggo, Malang, pada 13 Januari, 64 tahun silam.
Saya sangat mencintai ayah saya. Karena itu, pada tahun 1967 ketika
usianya mencapai 67 tahun saya memintanya pensiun karena sudah waktunya beliau istirahat. Lantas, kegiatannya di Partai Nasional Indonesia (PNI) juga saya usulkan agar dihentikan. Soalnya, saya khawatir, jangan-jangan setua itu dia akan "dipakai". Dan ayah saya nurut. Sampai hari ini, ayah saya masih segar bugar, lo, bulan Juni mendatang usianya 91 tahun.
Zaman Jepang Waktu kecil, saya pernah bercita-cita menjadi insinyur. Tapi, ketika saya berusia 16 tahun, ada sesuatu yang "membelokkan" perhatian saya. Ketika itu, Jepang baru masuk. Bersama Gatot Supangkat, kawan pondokan, saya iseng-iseng main jailangkung. Pertanyaan pertama yang saya lontarkan adalah, ''besok saya akan jadi apa?" Sang jailangkung menunjuk huruf-huruf M, A, J, O, R .... ha, ha ..... ha. Maklumlah, masa kecil saya di desa, dan kota penuh dengan perkelahian. Pak Domo (Menko Polkam -- Red) sering melihat saya berkelahi, soalnya kami kawan sekolah di Probolinggo.
Ya, namanya garis hidup, saya betul-betul jadi tentara. Semuanya
mengalir begitu saja. Saya mendengar ada permintaan menjadi perwira
pembela sukarela yang kita kenal sebagai Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta). Wah, namanya saja sudah menarik buat saya. Bersama kawan-kawan saya di Probolinggo, saya mendaftar dan dites mulai dari ujian di Probolinggo, Malang, hingga Surabaya untuk diperiksa kesehatan. Akhirnya kami beramai-ramai ke Bogor untuk jadi Peta.
Pada zaman sekolah di Bogor itu saya merasakan betapa keras dan
disiplinnya pendidikan Jepang. Hukuman yang kami dapatkan terjadi secara kolektif. Selain itu, kami selalu ditekankan untuk cinta kepada bangsa dan diiming-imingi untuk merdeka. Secara militer, kami dilatih bertempur mulai unit yang kecil hingga tingkat komandan batalyon. Saat itu, saya terkenal paling nakal dan sering keluar pagar asrama untuk cari makan. Ha, ha, ha ....
Saya tak akan lupa ketika dihukum karena pernah bikin ramai dengan intelijen Jepang. Waktu itu saya mau ke Leces 'nengok pacar saya. Saya mau beli karcis di stasiun. Karena saya tentara, saya ndak usah antre, saya sudah bawa jiosaken (karcis kereta api). Tiba-tiba, ada yang menegur dari belakang "Saudara kan pemimpin. Lihat yang lain antre....''
Wuah! Muarahnya saya ... saya hantem dia. Saya tonjok dia! Lantas kawan saya melerai kami. Setelah itu, saya mendapat panggilan dari kenpentai. Saya tanya pendapat kawan-kawan saya, ''kalau saya ndak bisa kembali, gimana?'' Kawan-kawan menjawab, "berontak!'' Lantas saya menelepon ayah saya untuk minta doa. Saya pun dijemput dan ditanya oleh kenpentai. Saat itu, saya masih fasih berbahasa Jepang. Mereka menanyakan, kenapa saya berbuat seperti itu. Saya jelaskan bahwa saya tersinggung.
"Saya seorang perwira, dan dia seorang bintara Jepang. Kok beraninya kurang ajar pada saya di muka bangsa Indonesia. Karena itulah saya memukul dia."
Lo, kok pemimpinnya malah menyukai saya. Dia ndak jadi marah. Waktu pulang, saya dikasih rokok KOA. Wuah, rokok itu dari Jepang dan sangat enak, lo. Ha, ha, ha .... Ternyata Daidancho saya sangat akrab dengan kepala kenpentai
Sayang, saya ndak bisa bahasa Jepang lagi. Ketika Jepang jatuh, saya berusaha melupakan bahasa itu, sebab saya benci sekali dengan perlakuan mereka.
Kepala Intelijen Selama perjuangan melawan Belanda ketika Clash II, konsep perang yang diinstruksikan oleh Panglima Komando Jawa, Kolonel Nasution, untuk menghadapi serangan Belanda adalah taktik Wingate. Ini sebuah strategi yang ditemukan oleh Jenderal Wingate dari Burma. Yakni menerobos, menyerang di sela-sela serangan musuh, dan masuk ke daerah belakang musuh. Dan kami juga melaksanakan perang wilayah atau webrkreise stelsel dan taktik gerilya.
Selama perjuangan itu saya tak pernah ditahan. Syukur alhamdulillah,
saya juga ndak pernah luka.
FDR baru saja memukul kita tahun 1948. Saya ingat, ketika saya
menjabat Wakil Komandan Sub Wehkreis II di Pujon, Malang Barat, kami
pernah menangkap pelarian FDR (Federasi Demokrasi Rakyat) II. Saat itu saya sudah berpangkat kapten. Sebenarnya komandan kompi kami mau menembaknya saja, soalnya kami tahu bagaimana pembunuhan-pembunuhan yangdilakukan komunis di Madiun. Saat itu, istilahnya mati harus ditebus mati. Tapi ketika mau ditembak, ternyata dia lari entah ke mana. Di kemudian hari saya bertemu dengannya lagi.
Di masa gerilya, saya masuk ke daerah pendudukan Belanda dengan
menyamar. Nah, sebelum Serangan Malang I, saya diundang ikut rapat kaum buruh. Rapat tersebut terletak di gedung Taman Siswa di Sawahan yang terletak di muka RS Lafayette. Sementara itu, di belakang RS Lafayette adalah markas Brigade X Belanda.
Dengan mengenakan piyama, peci, dan sarung, saya ke gedung itu dengan mengendarai bemo. Di saku saya ada KTP dengan nama Tasrin, nama samaran saya, dengan alamat Desa Selokerto. Tiba di gedung, saya kaget. Orang FDR yang dahulu hampir ditembak komandan kompi saya itu ada di sana. Melihat saya, dia mau lari lagi. Tapi saya cegah. "Jangan lari. Kita menghadapi musuh yang sama. Kita seperjuangan melawan Belanda." Akhirnya dia tak jadi lari.
Rapat itu dipimpin oleh bekas Komandan Brigade XIII, Kolonel Zaenal
Alimin. Ia menjelaskan bahwa dia memimpin kota Malang, dan menguasai kaumburuh. Tujuan rapat, selain menjelaskan adanya organisasi yang dipimpinnya, juga ada janji dari kaum buruh kalau kita, TNI, mengadakan serangan kota Malang, kaum buruh akan membantu. Umpamanya kaum buruh anim (sekarang PLN) akan memblackout Malang. Tapi setelah serangan dilaksanakan, janji itu tak dipenuhi.
Selain itu Alimin menjelaskan bahwa dia sudah mempunyai kelompok-kelompok yang ditempatkan di desa-desa di sekeliling Malang. Saya langsung curiga bahwa kelompok tersebut dari FDR yang menyusup kota. Saya sadar betul bahwa Alimin agak kekiri-kirian. Tapi saya tenang saja, wong pasukan ada di belakang saya. Dia kan ndak punya pasukan.
Kemudian saya bertanya apakah semua desa yang katanya sudah di tangan mereka itu punya intelijen. Mereka jawab ndak. Wuah, saya bilang, intelijen itu penting di daerah pendudukan. Kalau ndak ngerti, hancurlah kita. Maka, orang pun meminta saya menjadi kepala intelijen.
Saya pun minta diperkenalkan kepada orang-orang desa tersebut. Pada
saat itu, kami semua bekerja sama melawan Belanda. Tapi pada saat yang sama saya juga mengeliminir kelompok-kelompok yang saya anggap bisa menjadi pengganggu sesudah perang, macam GRK (Gerakan Rakyat Kota) Malang, FDR, dan TPRI (Tentara Pembebasan Rakyat Indonesia). Artinya, saya melucuti senjata mereka saja.
Persis sebelum perang selesai, saya diangkat menjadi Komandan Batalyon I di Malang. Saya segera membersihkan seluruh Kota Malang. Orang-orang GRK dan FDR itu saya lucuti senjatanya atau saya bubarkan mereka semua. Kenapa? Karena mereka adalah kekuatan-kekuatan yang tidak teratur. Memang kami pernah bertempur bersama melawan Belanda, tapi sesudah perlawanan dengan Belanda usai, saya menganggap harus hati-hati terhadap mereka.GRK, FDR, dan lain-lainnya adalah kekuatan-kekuatan yang tidak termasuk ke dalam organisasi ketentaraan.
Suatu ketika di tahun 1951, Mayjen. Bambang Sugeng memanggil saya ke kantornya. "Kapten, kalau saya serahi tugas untuk menyelesaikan keamanan di daerah segi tiga Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan, kamu butuh berapa lama?" tanyanya. Karena begitu senang dengan kepercayaan ini, saya spontan menjawab, ''Enam bulan!" Lo! Saya kaget sendiri. Kok berani-beraninya…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…