Feodalisme Sudah Lama Tak Ada

Edisi: 28/20 / Tanggal : 1990-09-08 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis :


SAYA dilahirkan pada Ahad Pon, 29 Mulud Be 1840 atau 10 April 1910, dengan
nama Bandoro Raden Mas (B.R.M.) Soelarso Koento Soeratno. Menginjak dewasa,
nama saya berubah menjadi Kanjeng Pangeran Haryo (K.P.H.) Soerjo Dilogo. Pada
tahun 1937, ketika saya berusia 27 tahun, ayah saya, Sri Paduka Paku Alam VII,
mangkat. Sebagai anak laki-laki tertua, saya ditunjuk menggantikan beliau.

; Nama saya ketika menjadi pengganti Ayah adalah Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Aryo (K.G.P.A.A.) Prabu Soerjo Dilogo. Memang, ada tradisi di Puro
Pakualaman bahwa gelar Paku Alam baru digunakan bila sudah berusia 40 tahun.
Karena itu juga, saya baru memakai nama K.G.P.A.A. Paku Alam VIII secara resmi
setelah berusia 40 tahun, yaitu tahun 1950.

; Semasa kecil, saya seperti anak-anak lain, biasa saja. Hanya, sebagai anak
priayi, sejak dini saya diajar rupa-rupa kesenian. "Joged" (menari), ngaji,
dan diharuskan ikut kegiatan olahraga yang memang saya sukai. Ini juga hampir
sama dengan semua anak seusia saya dulu.

; Waktu itu, saya belum merasa dan tidak sadar bahwa saya adalah anak priayi
yang nantinya akan menjadi Kepala Puro Pakualaman. Saya juga tidak pernah
membayangkan akan jadi raja. Orangtua saya tidak pernah membesar-besarkan
masalah itu.

; Setelah agak besar -- menjelang dewasa -- Ayah menyuruh saya lebih banyak
bergaul dengan masyarakat luas. Saya disuruh bermain dengan anak-anak lain di
luar tembok Puro. Karena gemar bermain sepak bola, saya ikut dalam klub sepak
bola Browijoyo Yogya. Ketika saya berusia sekitar 15 tahun, saya sudah mulai
terjun di dalam masyarakat.

; Posisi saya dalam klub adalah kanan dalam. Waktu itu, saya belum banyak
berhubungan dengan Sri Sultan walau sama-sama suka pada sepak bola. Saya
sempat kenal dengan Sri Sultan di lingkungan sekolah saja. Itu pun hanya
sebentar karena Sri Sultan pindah ke Semarang.

; Sri Sultan juga punya klub sepak bola, yaitu Family Football Club. Saya tidak
pernah bertanding melawan klub itu. Hanya saja, bila klub itu mengadakan
pertandingan ke luar kota, saya sering dipinjam memperkuat klub Keraton itu.
Seingat saya, saya belum pernah bermain sepak bola bersama-sama Sri Sultan.

; Saya masih bermain sepak bola sampai menjadi mahasiswa Rechts Hoogeschool di
Jakarta. Sekolah saya, boleh dikata, cukup lancar. MULO saya lewati tiga
tahun, demikian juga dengan AMS-B, keduanya di Yogyakarta. Tahun 1925, saya
masuk MULO selama tiga tahun, AMS juga tiga tahun. Setelah menjadi mahasiswa,
saya sudah mulai menyenangi olah raga tenis.

; Kecintaan saya pada olah raga panahan dimulai ketika saya masih kanak-kanak.
Ceritanya begini. Ketika itu, ada pasar malam Sekaten. Pasar malam itu ramai
sekali, dan ada penjual panah-panahan mainan anak-anak. Saya dibelikan sebuah
panah oleh Ibu. Sejak itu, saya mulai menggemari olah raga panahan.

; Ibulah yang banyak mendorong saya menggeluti panahan ini. Karena ketika itu
belum ada pelatih khusus, saya belajar sendiri. Juga dalam mencari bentuk
busur dan anak panah yang baik, semuanya berdasarkan pengalaman dan hasil
korespondensi dengan pemanah dari luar Yogya, seperti Jawa Barat, Jawa Timur,
dan tentu juga Solo, Jawa Tengah. Sampai sekarang, saya masih menggeluti olah
raga panahan.

; Kecintaan saya pada panahan sangat besar. Saya bukan saja menggeluti olah
raganya, tetapi juga memikirkan organisasinya. Saya adalah salah seorang
pencetus ide lahirnya Perpani (Persatuan Panahan Indonesia). Sampai sekarang,
saya masih sebagai Ketua Kehormatan Perpani.

; Cerita lahirnya Perpani, menjelang pelaksanaan PON I. Saya sangat ingin
panahan dipertandingkan dalam PON I itu. Karena itu, hubungan dengan rupa-rupa
orang yang suka panahan mulai saya jalin. Yang banyak memang yang berasal dari
Solo. Di Solo, saya sering bertanding dengan pemanah-pemanah Jawa lainnya
walau kompetisi secara teratur belum ada. Karenanya, saya banyak kenal dengan
para pemanah Indonesia ketika itu. Saya lontarkan keinginan agar panahan masuk
PON, dan itu mendapat sambutan baik. Nah, karena itu, harus ditentukan
syarat-syaratnya.

; Dalam sebuah pertemuan antara pengurus-pengurus klub panahan, saya lontarkan
bahwa dalam pertandingan resmi di PON, anak panah yang digunakan adalah empat
batang dan sebuah busur. Ini memang panahan gaya Yogyakarta. Di Jawa Barat,
panahan menggunakan 20 anak panah, sedangkan di Jawa Timur 12 anak panah.

; Tentu saja, syarat itu ditentang pada awalnya, tapi, setelah saya jelaskan
filosofinya, mereka bisa menerima. Kemudian ditetapkan bahwa lomba panahan
memakai sebuah busur dengan empat anak panah. Sampai sekarang, untuk nomor
tradisional, sebegitulah jumlah panahnya. Ide saya diterima karena daerah lain
tidak seperti Yogya. Mereka tidak punya filosofi atau alasan lain mengapa
mereka memakai jumlah anak panah yang banyak.

; Filosofi panahan Yogyakarta adalah angka 5. Hanya menggunakan empat anak
panah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…