Putu Wijaya: Saya Seperti Pabrik

Edisi: 18/46 / Tanggal : 2017-07-02 / Halaman : 60 / Rubrik : SN / Penulis : Prihandoko, ,


Hampir lima tahun tangan dan kaki kiri Putu Wijaya lumpuh. Stroke pada akhir 2012 membuat seniman serba bisa asal Bali itu kesulitan menuangkan berbagai idenya ke layar komputer. Kondisi itu diperparah oleh gangguan penglihatan, yang membuatnya tak bisa berfokus melihat huruf di layar komputer.

Tapi Putu tak mau menyerah. Dia meninggalkan komputer karena sadar tak mungkin lagi mengetik di situ seperti sebelumnya. Pria 73 tahun itu kemudian memilih BlackBerry sebagai perangkat menulis. Dengan satu tangan, Putu mengetik ratusan cerita pendek dan monolog serta beberapa novel.

Satu kumpulan tulisan terbarunya adalah buku 100 Monolog Karya Putu Wijaya. Kumpulan monolog itu ditulis dan diterbitkan tahun lalu. Hebatnya, Putu cuma butuh dua bulan untuk mengarangnya. "Bagi saya, sakit tak perlu dianggap sebagai hambatan," katanya. Ratusan monolog itulah yang dipentaskan dalam Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya di Bali sepanjang Maret-Desember tahun ini.

Pada Rabu pekan terakhir Mei lalu, wartawan Tempo Prihandoko mewawancarai Putu di rumahnya di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Selama tiga jam, Putu menceritakan berbagai hal, dari alasan membuat monolog hingga penilaiannya terhadap kondisi teater di Indonesia.

nnn

Kenapa Anda membuat monolog?

Sekarang, salah satu masalah dalam pementasan drama adalah biaya yang mahal dan sedikit sponsor. Usaha untuk mementaskannya selalu terhambat. Apalagi sudah tidak ada komunitas seni yang mau memberi dana. Jadi susah sekali membuat produksi dengan pemain 10-15 orang. Lalu saya berpikir bagaimana caranya supaya hasrat pementasan tidak macet. Salah satunya dengan monolog. Dalam pementasan monolog memang bukan hanya satu orang yang terlibat, tapi biayanya pasti jauh lebih murah.

Pementasannya minimal?

Ketika menulisnya, saya usahakan supaya pementasannya murah dan mudah. Terkadang tidak memakai properti. Atau hanya sebuah kursi dan meja. Pementasannya tidak menyulitkan. Selain itu, saya menghapus batasan antara laki-laki dan perempuan. Monolog saya bisa dimainkan keduanya.

Dari mana Anda mencari ide seratus monolog itu?

Berita di media massa adalah makanan saya untuk mencari ide. Tidak semua, tapi yang menarik dan lucu. Misalnya tentang hoax dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Saya ambil apa yang dilupakan dan diabaikan orang. Jadi saya mengandaikan diri saya sebagai pemulung yang membuka tong-tong sampah. Saya memilih sesuatu yang dibuang orang, tapi ternyata itu berharga. Hal-hal sepele itu…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

A
Ada Keramaian Seni, Jangan Bingung
1994-04-23

Seminggu penuh sejumlah seniman menyuguhkan berbagai hal, bertolak dari seni pertunjukan, musik, dan seni rupa.…

M
Mempertahankan Perang Tanding
1994-06-25

Reog khas ponorogo bisa bertahan, antara lain, berkat festival yang menginjak tahun ke-10. tapi, di…

R
Reog Tak Lagi Menyindir
1994-06-25

Asal asul adanya reog ponorogo untuk memperingati perang tanding antara klanasewandono dengan singabarong.