SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA: HIDUP ... ; SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA: HIDUP ...

Edisi: 02/20 / Tanggal : 1990-03-10 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis :


Pertengahan bulan lalu, Universitas Nasional memperingati ulang tahun rektornya,
Sutan Takdir Alisjahbana, secara terbuka. Pada usia 82 tahun, ayah sembilan anak
ini -- yang terkenal sebagai "ayah" bahasa Indonesia dan ahli filsafat -- masih
tegar. Ia menjabat Ketua International Association for Art and the Future, anggota
Akademi Jakarta, Direktur Balai Seni Toyabungkah, anggota perkumpulan ilmiah dalam
dan luar negeri. Pikiran "Barat" yang dilontarkannya 55 tahun lampau, dalam
Polemik Kebudayaan, masih tetap diyakininya sampai kini. Sebagian kisah hidupnya
ini dituturkan kepada Muchsin Lubis, atas permintaan TEMPO.

; SAYA dilahirkan pada 11 Februari 1908 di Natal, Tapanuli Selatan, yang terletak di
pantai barat Sumatera. Ibu saya orang Natal. Orang Natal itu bukan suku
Mandailing, juga bukan Batak. Kesan saya, adat-istiadat dan bahasanya adalah
Minangkabau. Saya masih ada hubungan keluarga dengan Sutan Sjahrir yang juga dari
sana, dan Mr. Muhammadsjah yang dulu jadi Rektor Universitas Cendana, Kupang.
Sebenarnya, ayah saya dari Natal juga. Tapi, ayahnya merantau ke Tengahpadang,
Bengkulu. Rupanya, sejak neneknya sudah meninggalkan Natal. Ayah saya berdarah
Jawa. Namanya Raden Alisjahbana gelar Sutan Arbi. Gelar Raden itu suatu ketika
diakui Kesultanan Yogyakarta. Malah, dia disuruh mengamat-amati kubu Sentot
Alibasjah di Bengkulu itu. Nah, dilihat dari jurusan ini, saya ini orang
campuran.

; Ketika saya berumur 4 tahun, kami meninggalkan Natal. Ayah saya guru SD di
Semangka, yang terletak di Teluk Semangka. Dia lalu pindah ke Curup, lalu ke
Kerkap, kira-kira 25 km dari Bengkulu. Di Kerkap itulah, saya sekolah di HIS
Bengkulu. Ayah saya lalu dipindahkan ke Ipuh yang jauh terpencil, dekat
Mukomuko. Tentulah, hubungan dengan orangtua terlampau jauh. Kalau hendak ke
Bengkulu, harus naik truk, lalu menyeberangi Sungai Ketaun yang cukup lebar.
Sampai di seberang, naik gerobak sapi tiga hari tiga malam, baru sampai ke
Ipuh. Kiriman uang dari Ayah selalu terlambat. Lagi pula, gajinya tak
seberapa.

; Di HIS, saya tidak pernah mempunyai buku, namun semuanya berjalan lancar.
Angka saya paling tinggi, tujuh, di sana-sini angka lima. Tapi, tiap tahun,
saya naik kelas. Ketika kelas 6, tanpa setahu Ayah, saya ikut ujian masuk
Kweekschool, Sekolah Raja di Bukittinggi. Saya lulus. Rupanya, Ayah setuju
saja. Di Kweekschool, ketika itu 1920, semuanya prei. Malah dapat uang Rp 5
sebulan. Tapi, baru 3 bulan, sekolah itu dipindahkan ke Kweekschool yang baru
didirikan di Lahat, Sumatera Selatan. Kemudian, sekolah itu dipindahkan lagi
ke Muaraenim. Lambat-laun, saya menjadi anak terpandai.

; Sewaktu di Muaraenim, saya sudah tertarik pada perkumpulan pemuda. Waktu
pulang ke Bengkulu, sepupu saya, Raden Navis, yang belajar di Jawa, sangat
berminat dengan gerakan Jong Java dan Jong Sumatra. Pulang ke Muaraenim, saya
mengirim surat ke pengurus di Jakarta, akan mendirikan Jong Sumatra di
Muaraenim. Jakarta tidak keberatan. Karena orang lain tidak berminat jadi
ketua, maka saya menjadi ketuanya meskipun saya yang terkecil di sekolah itu.
Waktu itu, saya berumur 13-14 tahun, dan mulai menulis di Jong Sumatra.
Karangan saya yang pertama dimuat dalam bahasa Belanda, Tani Briven, artinya
Surat-Surat Petani. Menceritakan bagaimana orang bertani.

; Pada 1925, saya dikirim ke Hogere Kweekschool di Bandung, setahun sebelum
menamatkan kelas terakhir. Saya satu-satunya murid yang dikirim karena saya
yang terpandai di kelas. Dengan cepat saya masuk inti dalam Jong Sumatra. Saya
sangat berminat pada Sukarno, ketika mendengar pidatonya menyambut Stockhuis,
seorang sosialis. Ketika itu, saya melihat dia pandai sekali berpidato.
Ucapannya yang saya ingat betul, "Rakyat yang miskin dan lapar itu juga rakyat
yang perutnya keroncongan." Ketika itu, dia mendirikan Study Club dengan
Darmawan, Iskak, dan Ir. Anwari.

; Sekolah Hogere Kweekschool itu di Tegalega, Bandung, di depan pacuan kuda.
Dan kalau kita pergi ke Braga, selalu melalui rechbenberg. Di sana tempat
tinggal Ir. Sukarno, Ir. Anwari, Mr. Iskak. Kalau saya lewat di depan rumah
mereka, saya merasa bangga melihat orang-orang Indonesia, akademisi,
cendekiawan, yang sadar berjuang untuk bangsanya, menjadi pedoman kami
anak-anak muda. Ketika pemilihan pengurus Jong Sumatra berikutnya, saya
diangkat menjadi wakil ketua. Ketuanya, Ir. Semawi dari THS. Waktu itu,
bangkit gerakan Indonesia Muda, yang dibentuk dari Jong Java dan Jong Sumatra,
serta golongan lain. Di situ, saja kenal dengan Tabrani, Ketua Jong Java, dan
Koco Sungkono. Saya juga kenal dengan Sjahrir. Kami sering rapat di rumah
Sukarno atau Anwari.

; Sewaktu sekolah di Bandung itu, saya mulai banyak membaca. Mengarang dalam
bahasa Belanda, boleh jadi, saya terpandai di sana. Ketika itulah saya menulis
buku Tak Putus Dirundung Malang. Ketika kelas 2, selesai dua chapter. Saya mau
menulis tentang sesuatu yang sedih betul. Pada 1928, saya tamat dan diangkat
menjadi guru di Palembang. Gaji saya Rp 110.

; Ketika diangkat, kami diperbolehkan meminjam 3 bulan gaji, yang saya katakan
untuk membeli sepeda dan pakaian. Sisanya masih banyak, saya kirimkan kepada
Ibu. Saya memang dekat dengan Ibu. Tapi, suatu hari, sepupu saya dari Bengkulu
mengabarkan bahwa Ibu meninggal dunia. Saya kaget. Malam-malam, saya menangis
terus. Uang yang saya kirimkan itu dipakai untuk menguburkannya. Seminggu
kemudian, saya sakit jantung dan saya dapat perlop 3 bulan. Saya pergi ke
Bandung, masuk rumah sakit di Cimahi. Tiga minggu di rumah sakit, penyakit
saya mulai sembuh, saya menyelesaikan Tak Putus Dirundung Malang di Bandung,
1928. Lalu, saya kirimkan ke Balai Pustaka.

; Balai Pustaka gembira dengan bahasa saya, meskipun bahasanya
kebelanda-belandaan, tapi bersemangat. Nur Sutan Iskandar banyak mengubahnya,
yang tidak saya senangi sama sekali. Bahasa saya dibuatnya menjadi bahasa
Melayu Biasa. Saya katakan, bahasa Melayu saya, yang bagaikan anak air di
pegunungan yang lancar, tiba-tiba menjadi rawa karena banyak diubah. Saya
mendapat honor Rp 250. Setahun kemudian, 1929, saya mengawini Raden Ajeng
Rohani, yang masih mempunyai hubungan keluarga di Bengkulu.

; BALAI PUSTAKA DAN POLEMIK KEBUDAYAAN

; Saya merasa kurang enak jadi guru. Karena anak-anak selalu dapat nilai lima, saya
jadi tidak sabar. Sering betul saya menampar. Malah, suatu hari, saya menampar
seluruh kelas. Rupanya murid-murid itu pergi ke surat kabar Pertja Selatan.
Keesokan hari, muncul tajuk berita "Guru Yang Ganas". Karena jadi guru tidak
sabar, saya melamar ke Balai Pustaka, yang mencari redaktur untuk Panji Pustaka.
Tidak diterima. Tapi, saya diterima jadi redaktur di bagian buku. Waktu itu,
Adinegoro yang menjadi redaktur Panji Pustaka.

; Saya lalu pindah ke Jakarta, 1930. Anak tertua saya, Samiati, lahir di
Jakarta. Mula-mula saya tinggal di Gang Abu, Pecenongan, lalu pindah ke Jalan
Kesehatan. Saya juga melanjutkan pelajaran mengambil kursus malam di Hoofdakte
Cursus. Nah, di Balai Pustaka itulah, saya mulai cepat-cepat menulis Dian Yang
Tak Kunjung Padam. Di rumah saya menulis Anak Perawan Di Sarang Penyamun
kemudian menulis Layar Terkembang. Sebelumnya saya sudah menulis cerita
pendek, yang isinya akan dimasukkan ke Layar Terkembang.

; Baru tiga bulan, Adinegoro meletakkan jabatannya karena menjadi redaktur di
Pewarta Deli di Medan. Saya dipindahkan ke Panji Pustaka. Di samping itu, saya
mulai jadi pembantu Pewarta Deli dan Suara Umum, Surabaya. Sebagai pemimpin
Panji Pustaka, saya mengadakan gerakan Sastra Baru pada 1933. Saya memuat
sajak-sajak dan suatu brief "Memajukan Kesusasteraan". Dari sana, saya buat
kritik tentang kesusastraan yang lama, pantun, syair yang telah mati. Saya
mulai memuji karangan-karangan baru dan sajak-sajak baru. Orang-orang muda
banyak berkumpul di sekitar saya.

; Di sanalah, saya berkenalan dengan Armijn Pane dan Amir Hamzah yang selalu
mengirimkan sajak-sajaknya. Kami membicarakan penerbitan majalah kesusastraan
yang lepas dari Balai Pustaka. Majalah itu semata-mata untuk bahasa Indonesia,
sastra dan kebudayaan umum. Hal itu diketahui Daaler, seorang Indo yang
bekerja di Balai Pustaka. Dia cukup terkenal sebagai anggota Volksraad, yang
selalu memihak Indonesia. Kemudian dia mengubah namanya menjadi Dahlan, dan
meninggal di Yogyakarta.

; Daaler mempertemukan kami dengan percetakan Kolf di Pecenongan. Percetakan
yang terbesar ketika itu. Ia bertanya kepada Kolf, mengapa tidak menerbitkan
majalah sastra. Kami diperkenalkan sebagai tiga sastrawan Indonesia yang
terdidik. Usul itu diterima Kolf. Kolf hendak menerbitkan majalah yang tebal
dengan kertas yang bagus. Ia lalu menyebarkan pamflet dan daftar isian yang
ingin berlangganan majalah Pujangga Baru. Ternyata yang membalas dan
mengirimkan uang hanya 301 orang. Tentu saja, tidak mencukupi. Lalu, saya
meminta Kolf untuk menerbitkan majalah yang kecil, 32 halaman, dengan kertas
bersahaya. "Tuan tak perlu mengembalikan uang itu. Mereka yang sudah
mengirimkan uangnya, akan kami kirim majalah." Kolf setuju.

; Ternyata, peminatnya menurun. Tinggal kira-kira 120 atau 130 orang saja.
Tentu saja, kami tidak bisa mencetak di Kolf lagi. Lalu, pindah ke percetakan
lain. Dengan uang secukupnya itulah kami mencetak. Malah, kalau ada kekurangan
untuk prangko dan sebagainya, sebagai orang yang berpenghasilan Rp 150
sebulan, saya menutupi kekurangannya Rp 5 sebulan. Meskipun pembacanya tidak
banyak, Pujangga Baru amat besar pengaruhnya. Banyak yang menyumbangkan
tulisan, antara lain, Prof. Husein Djajadiningrat, Maria Ulfah Santoso, Amir
Sjarifuddin, Mr. Sumanang, Poerwadarminta. Pendeknya, ada sekitar 20 orang
intelek Indonesia yang menjadi inti gerakan Pujangga Baru itu.

; Pertemuan-pertemuan Pujangga Baru yang sering diadakan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…