KOBARAN API REVOLUSI PRANCIS

Edisi: 20/19 / Tanggal : 1989-07-15 / Halaman : 51 / Rubrik : NB / Penulis :


NUKILAN REVOLUSI PRANCIS INI DICOMOT DARI BUKU CITIZENS -- A CHRONICLE OF THE FRENCH REVOLUTION, KARYA SIMON SCHAMA. SEBUAH BUKU YANG DIPUJIKAN OLEH THE NEW YORK TIMES MAMPU MEREFLEKSIKAN MASA LALU SEKALIGUS MASA KINI NEGERI YANG SEDANG BERULANG TAHUN KE-200 ITU. DITERBITKAN OLEH ALFRED A. KNOPF. NEW YORK, 1989. SCHAMA KELAHIRAN LONDON 1945, LULUSAN UNIVERSITAS CAMBRIDGE, DAN KINI PROFESOR DALAM ILMU SEJARAH DI UNIVERSITAS HARVARD. IA MENETAP DI MASSACHUSETTS BERSAMA ISTRI DAN KEDUA ANAKNYA.

LETAKNYA DI Rue San Antoine nomor 232, Paris. Itulah penjara Bastille yang punya nama kesohor dalam sejarah revolusi Prancis. Pada mulanya gedung itu adalah sebuah rumah penginapan besar. Kamar-kamarnya dihuni oleh para tamu dari berbagai tingkat sosial masyarakat. Halaman dalamnya terbuka untuk umum, kecuali pada bulan Juli, ketika musim panas sedang memuncak.

Namun, gedung itu juga sebuah benteng. Kedelapan menaranya dilapisi dinding tembok setebal lima kaki. Lukisan-lukisan yang menggambarkan penyerbuan ke penjara itu selalu menambah tinggi dindingnya dengan beberapa kaki, padahal puncak menara tertinggi tak lebih dari 72 kaki saja. Hubert Robert, si spesialis pelukis reruntuhan, memberi gambaran Bastille sebagai gedung raksasa. Dalam lukisan-lukisannya dinding-dinding Bastille digambarkan sebagai bukit curam yang hanya bisa didaki dan ditaklukkan oleh manusia super dengan keberanian wah, serta tekad rakyat. Itulah legenda Bastille.

Dibangun pada akhir abad ke-14 sebagai alat untuk menahan serbuan orang Inggris, fungsi Bastille kemudian diubah menjadi penjara negara oleh Charles VI. Tapi, yang menjadikan tempat itu begitu terkenal sebagai tempat untuk menjebloskan para tahanan negara tak lain dari Kardinal Richelieu. Selama pemerintahan ahala Bourbon, sebagian besar tahanan yang dibawa ke sana diambil atas dasar surat perintah para raja yang dibuat dengan tergesa-gesa tanpa proses hukum yang normal.

Sejak awal, para penghuni Bastille terdiri dari para "pengkhianat" kelas kakap: mereka yang berkomplot melawan raja dan para menteri. Ada lagi jenis lain yang terdiri dari tahanan-tahanan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, orang Protestan, dan pada awal abad ke-18 apa yang disebut sebagai golongan Katolik "pembangkang". Mereka itu dipersalahkan tetah mempopulerkan bidah, atau perlawanan terhadap doktrin yang berlaku.

Ada lagi dua kategori tahanan lain. Yang pertama terdiri dari para penulis yang hasil-hasil karyanya dianggap menghasut dan membahayakan keamanan dan ketertiban. Golongan kedua adalah para penjahat yang pada umumnya terdiri dari orang-orang muda. Keluarga mereka telah memohon kepada raja agar mereka itu dihukum.

Kondisi di dalam penjara juga berlain-lainan. Ruangan-ruangan yang ada di bawah tanah sudah tentu sangat lembap dan dihuni oleh tikus. Karena jeleknya, menjelang pemerintahan Louis XVI ruang-ruang tersebut tak digunakan lagi. Ruang-ruang yang paling atas pun tak kurang buruknya, lantaran dipenuhi dengan salju pada musim dingin, sedangkan pada musim panas, panasnya bukan alang kepalang dan membuat tubuh para tahanan jadi kekurangan cairan.

Kehidupan di dalam penjara pun sebenarnya tak lebih buruk dari keadaan di dalam penjara-penjara lain. Ada dana yang dijatahkan kepada gubernur untuk "memelihara" kesejahteraan para tahanan berdasarkan pangkat: 15 livres per hari untuk tahanan parlemen, sembilan untuk para bourgeois, dan tiga untuk orang-orang biasa. Lucunya, jumlah itu sebenarnya masih berada di atas biaya yangharus dikeluarkan oleh kebanyakan penduduk Prancis untuk bisa hidup dengan wajar.

Kebanyakan tahanan dikurung di dalam ruang-ruang bersegi delapan dengan diameter berukuran sekitar 16 kaki, di tingkat tengah dari menara-menara yang bertingkat tujuh atau delapan itu. Di bawah pemerintahan Louis XVI mereka mendapat sebuah tempat tidur, tirai hijau, meja, dan juga kursi. Banyak dari mereka yang diizinkan membawa barang-barang kebutuhan utama mereka dan memelihara kucing atau anjing untuk menangkap tikus dan binatang-binatang pengganggu lain.

Marquis de Sade (itu tokoh sadistis sepanjang zaman), yang dipenjarakan di sana sampai sepekan sebelum Bastille diserbu, benar-benar memanfaatkan kemudahan-kemudahan dalam penjara. Ia membawa masuk kumpulan sepatunya, lemari pakaian, koleksi sepatu, dan malah potret keluarga serta hampir semua koleksi bukunya. Istrinya yang selama bertahun-tahun menderita karena ulahnya datang menengoknya setiap minggu, dan ketika matanya rusak karena terus membaca dan menulis, seorang ahli mata datang mengunjungi dan merawatnya secara berkala.

Makanan, yang menjadi tolok ukur kehidupan para penghuni penjara, juga beragam atas dasar tingkat sosial. Orang-orang kebanyakan diberi bubur dan sup, dan kadang-kadang ditambah dengan dendeng atau daging babi segar yang penuh dengan gajih. Roti, keju, dan anggur pun ternyata menjadi bagian dari menu para tahanan juga.

Tak ada yang ingin dijebloskan ke dalam Bastille. Tapi, tapi, begitu berada di sana, hidup bagi orang-orang dengan hak-hak tertentu ternyata tak begitu buruk. Alkohol dan tembakau, diperbolehkan dan malah ketika Prancis berada di bawah Louis XVI permainan kartu dan juga bola sodok diperkenalkan. Gunanya untuk memberi kesempatan pada para penghuni hotel prodeo itu saling mengenal dengan baik.

Tapi, beberapa penulis sengaja membuat citra penjara Bastille sebagai lambang perlawanan terhadap rezim. Pengarang Abbe Morellet misalnya pernah menulis, "Secara harfiah aku melihat hari depan gemilang dalam bidang kesusastraan di dinding penjaraku. Begitu dijebloskan ke dalamnya, aku akan menjadi terkenal... dan kehidupanku selama enam bulan di sana menjadi modal untuk keberuntunganku di masa depan."

Apa yangdituliskan oleh Morellet menunjukkan, walaupun kehidupan di dalam Bastille tak seburuk seperti dibayangkan dalam buku-buku, ia telah didefinisikan sebagai lambang perlawanan terhadap kekuasaan negara. Kalau monarki harus digambarkan sebagai kekuasaan yang sewenang-wenang, terobsesi dengan kerahasiaan, dan selalu ingin berkuasa atas hidup mati warga negaranya, Bastille merupakan lambang yang sempurna untuk tujuan itu. Kalau saja itu tak ada di atas dunia, ia harus diciptakan.

Pada dasarnya, "kekejaman-kekejaman" yang terjadi di dalam Bastille, diciptakan kembali oleh orang-orang yang memang pernah menderita di dalamnya. Pengalaman-pengalaman mereka itu begitu hidup dan mengerikan, sehingga cerita-cerita mereka itu berhasil menciptakan dan menghimpun segala kritik terhadap rezim. Serangan-serangan itu sedemikian hebatnya, sehingga, ketika benteng itu direbut, realitas antiklimaks membebaskan tujuh tahanan (termasuk dua orang gila, empat pemalsu, dan seorang aristokrat penjahat) tidak boleh mengurangi kehebatan pembebasan benteng itu sendiri. Propaganda revolusioner telah menciptakan kembali sejarah Bastille baik dalam bentuk tulisan maupun penggambaran sehingga cocok dengan mitos-mitos yang datang dari inspirasi.

Tahun 1780-an merupakan masa keemasan kesusastraan penjara. Hampir tak ada tahun yang terlewati tanpa terbitnya buku-buku tentang obyek itu. Judul-judul menyeramkan seperti "Bastille Diungkapkan Kembali" muncul. Buku-buku semacam itu biasanya menggunakan cara-cara Gotik untuk menimbulkan kebencian, kesebalan, dan ketakutan serta diimbangi juga dengan harapan di balik kesengsaraan itu. Misalnya saja, sebuah buku anti Bastille yang ditulis Linguet berjudul Catatan dari Bastille menggambarkan penjara itu sebagai kuburan orang yang masih hidup.

14 JULI 1789

Bernard-Rene de Launey lahir di dalam Bastille, ketika ayahnya menjadi gubernur (atau kepala penjara?). Para penulis revolusioner biasanya menggambarkan De Launey sebagai seorang markis yang kakeknya merupakan kepala penjara itu. Tapi, pada kenyataannya, yang disebut dengan gubernur itu tak lain dari seorang pejabat rendahan dalam pemerintahan rezim lama.

Pada 14 Juli ia merasa khawatir bahwa sesuatu yang besar akan terjadi pada dirinya. Karena kebetulan, nampaknya, segala integritas dan kekuasaan kerajaan di Paris telah jatuh ke pundaknya. Baron de Besenval telah mundur dari pusat kota, dan komandan pasukan Invalides itu telah mengirimkan kepadanya 250 tong amunisi. Tapi, ia hanya punya pasukan kecil untuk mempertahankan Bastille. Sementara itu, sesuai dengan permintaannya, ia telah mendapat bantuan 32 anggota tentara dari Resimen Swiss Salis-Samade untuk memperkuat 82 orang dari Invalides yang sudah ada di dalam. Para anggota pasukan itu dikenal sebagai orang-orang yang tak garang, sehingga kecil sekali kemungkinannya kalau mereka akan berjuang mempertahankan Bastille sampai orang terakhir. Lebih buruk lagi dari semuanya itu, di dalam penjara itu hanya tersedia makanan dan air untuk dua hari saja. Pada akhirnya barangkali faktor itulah yang menyebabkan akhirnya mereka menyerah.

Di muka halaman luar penjara telah berkumpul sekitar 900 penduduk Paris. Termasuk ke dalam kelompok itu adalah pera perajin bir yang secara harfiah tidak miskin. Juga ada serdadu-sedadu yang lari dan pasukannya. Tapi, yang terbesar adalah para perajin yang bertempat tinggal di sekitar Bastille sendiri. Mereka itu kebanyakan berada dalam ketakutan. Banyak cerita beredar bahwa tentara kerajaan akan datang masuk ke Paris dan memadamkan pemberontakan. Bastille sendiri dikatakan penuh dengan senjata, karena di sana terpasang tak kurang dari 15 meriam yang ditempatkan di menara-menaranya sedangkan tiga lagi ditongkrongkan di halaman dalam dan diarahkan ke gerbang. Itu ditambah lagi dengan senjata-senjata kecil yang dikumpulkan De Launey dalam kekhawatirannya.

Tujuan utama para penyerbu hanyalah untuk membuat meriam-meriam itu bungkam dan merampas amunisi saja. Untuk maksud itu dua orang wakil dari kerumunan orang meminta bertemu dengan gubernur, dan, karena waktunya sekitar jam 10 pagi, mereka diundang untuk makan siang di dalam penjara. Sejak semula para penyerbu sudah curiga ketika De Launey menolak siapa pun masuk kecuali kedua anggota delegasi itu. Karena itu, mereka menuntut tiga orang serdadu diserahkan sebagai sandera.

Acara makan siang yang berlarut-larut ditambah dengan perundingan mengenal meriam-meriam yang ada di menara mempertebal kecurigaan itu. Kemudian seorang wakil kedua, Thuriot de La Roziere, didatangkan untuk berunding. Ia berhasil menemui De Launey. Ia menuntut agar meriam-meriam yang ada di menara ditarik dan akan diserahkan kepada milisi Paris, dan sebuah unit milisi akan diperbolehkan menempati Bastille. Itu ditolak oleh De Launey karena ia mengatakan, untuk itu ia memerlukan perintah dari Versailles. Tapi, ia membawa Thuriot ke menara dan menyaksikan penarikan meriam-meriam itu.

Hari itu sudah jam 12.30. Tak ada tanda-tanda bahwa perundingan akan berakhir dengan baik. Tak ada satu pun tuntutan Thuriot yang nampaknya bisa diluluskan oleh para penjaga penjara. Opsir-opsir pasukan Invalides yang dipimpin De Launey bersikeras akan merupakan suatu penghinaan besar kalau harus menyerahkan benteng yang jadi penjara itu tanpa persetujuan dari atasan-atasan mereka. Thuriot memutuskan untuk melaporkan kegagalannya ke para deputi yang bermarkas di Hotel De Ville untuk meminta lagi instruksi buat berunding.

Para wakil rakyat masih ragu untuk memanaskan situasi, dan pada jam 1.30 ia pergi lagi ke Bastille, kali ini dengan ditemani oleh deputi lain bernama Ethis de Corny. Keduanya membawa terompet dan corong suara untuk mengumumkan penarikan meriam-meriam dari menara Bastille kepada mereka yang berkerumun itu. Tapi, tiba-tiba saja Hotel De Ville digetarkan oleh ledakan meriam dan serentetan bunyi senapan yang datang dari arah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
KOBARAN API REVOLUSI PRANCIS
1989-07-15

Nukilan buku "citizens: a chronicle of the french revolution" karya simonschama. diterbitkan oleh alfred a.…

B
BENAZIR BHUTTO MENUTURKAN ...
1989-01-14

Nukilan buku "daughter of the east" karya benazir bhutto. london: hamish hamilton, 1988. benazir menuturkan…

K
KENANG, KENANGLAH RUNTUHNYA SYAH ...
1989-02-11

Nukilan buku 'the shah's last ride: the fate of an ally" menceritakan hari-hari terakhir syah…