BENAZIR BHUTTO MENUTURKAN ...

Edisi: 46/18 / Tanggal : 1989-01-14 / Halaman : 43 / Rubrik : NB / Penulis :


BENAZIR BHOTO, DAUGHTER OF THE EASTPENERBIT: HAMISH HAMILTON, 1988

Tak peduli imbaun dunia, Jenderal Zia ul-Haq menggantung mati Zulfikar Ali Bhutto. Bhutto, yang menolak minta maaf, berkata tabah, "Aku akan kembali ketanah leluhurku di Larkana, menjadi bagian dari tanah, bau, dan udaranya; akan ada nyanyian tentangku dan aku akan menjadi bagian dari legenda tanah itu."

MEREKA membunuh ayahku pada dinihari, 4 April 1979. Aku sendiri bersama Ibu dikurung di sebuah pusat latihan polisi Sihala, hanya beberapa km dari tempat eksekusi. Aku serasa ikut merasakan ketika Ayah menarik napasnya yang terakhir. Walaupun Ibu telah memberiku beberapa butir valium supaya tenang, pada jam 2.00 pagi itu, aku bangun terduduk dengan tegak. "Tidak, tidak," teriakku mengigau. Aku tak bisa bernapas dan tak ingin bernapas. Dalam keadaan demikian Ibu pun tak kuasa menolongku. Kami hanya berpelukan. Tali gantungan yang melibat leher Ayah terasa melibat leherku juga ....

Zia ul-Haq. Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang seharusnya setia pada Ayah. Jenderal itulah yang menggerakkan prajurit-prajuritnya pada suatu malam buta untuk merebut kekuasaan dengan kekerasan. Zia ul-Haq, diktator militer itu, yang ternyata tak berhasil menaklukkan para pengikut Ayah, padahal ia telah menggunakan gas air mata, timah panas, dan serentetan peraturan UU bahaya. Jenderal yang telah gagal menghancurkan semangat Ayah, padahal ia telah menjebloskannya ke dalam sel isolasi, untuk menunggu hukuman matinya dilaksanakan. Zia ul-Haq itu, yang selama sembilan tahun memerintah Pakistan dengan tangan besi.

Aku merasa kosong. Hidupku telah berantakan. Dua tahun terakhir ini, aku telah berjuang menentang tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada ayahku. Bekerja keras dengan didukung para pengikut Ayah yang ada dalam Pakistan People's Party (PPP), untuk menuntut pemilu yang dijanjikan Zia ketika mengadakan kup. Tapi beberapa kali ia mundur teratur setelah khawatir kami akan menang.

Tak kurang dari enam kali para pelaksanaan UU Bahaya menangkapku, sambil melarang masuk Karachi dan Lahore. Nasib yang sama menimpa Ibu. Sebagai penjabat ketua PPP selama Ayah disekap -- Ibu telah delapan kali ditangkap. Dalam enam pekan terakhir ini, kami ditahan di barak polisi Sihala, dan selama enam bulan sebelum itu ditahan di Rawalpindi. Tapi sampai kemarin, aku masih tak mau percaya bahwa Zia benar-benar berniat membunuh Ayah.

Siapa yang akan memberi tahu adik-adik lelakiku di London, yang sedang berjuang di pengasingan menyelamatkan nasib Ayah? Dan bagaimana pula aku memberi tahu adik perempuanku, Senam, yang sedang menyelesaikan tahun terakhirnya di Harvard? Khusus tentang anak ini, aku benar-benar khawatir lantaran ia selamanya tak mau tahu tentang politik. Tapi, seperti juga kami, ia telah terjerumus ke dalam tragedi ini. Apakah dia sendirian sekarang? Kudoakan agar ia tak melakukan sesuatu yang tolol.

Tubuhku terasa bagai dicabik-cabik. Bagaimana ini bisa berlangsung terus? Walau telah berupaya keras, kami tak berhasil menyelamatkan nyawa Ayah. Aku merasa sangat sepi. "Apa yang bisa kulakukan tanpa pertolonganmu, Ayah?" Itulah yang kutanyakan padanya, ketika berada di sel kematiannya. Aku memerlukan nasihat-nasihat politiknya. Memang di tanganku ada gelar dalam ilmu pemerintahan dari Harvard dan Oxford. Tapi aku bukan politikus. Namun, apa lagi yang bisa dikatakan Ayah? Ia hanya mampu mengangkat bahu.

Dua hari yang lalu, aku menegoknya. Sakitnya pertemuan itu hampir tak tertahankan. Tak ada yang memberitakan padanya babwa ia akan dieksekusi keesokan harinya. Tak ada yang mengabari para pemimpin dunia, yang secara resmi telah meminta belas kasihan Zia. Di antara mereka tak kurang dari tokoh-tokoh kaliber berat seperti Presiden Jimmy Carter dari Amerika, Margaret Thatcher dari Inggris, Leonid Brezhnev dari Uni Soviet, Indira Gandhi, Paus Yohannes Paulus, dan para pemimpin negara Islam dan Arab. Pasti tak ada satu pun di antara pembuntut Zia yang berani mengungkapkan tanggal eksekusi. Hanya aku dan Ibu yang tahu, itu pun secara kebetulan dan kira-kira saja.

Hari itu, pagi-pagi tanggal 2 April, aku tengah berbaring-baring. Tiba-tiba saja Ibu masuk. "Pikie," katanya menyebut nama panggilanku, tapi dengan nada suara yang membuatku bergetar. "Di luar ada dua orang perwira yang mengatakan kita berdua harus segera mengunjungi Ayahmu." Apa artinya itu? Aku tahu betul. Ibu juga. Hanya saja, kami tak mau mengakuinya. Hari itu merupakan hari kunjungan rutin Ibu yang sekali seminggu. Giliran kunjunganku baru akan datang pada akhir pekan. Kalau mereka menghendaki kami berdua berkunjung bersama, hanya satu artinya: itu akan merupakan kunjungan terakhir. Zia akan segera membunuh Ayah.

Pikiranku berpacu. Dunia mesti diberi tahu dan imbauan terakhir harus disebarkan kepada masyarakat internasional serta rakyat. Waktu sudah hampir habis. "Katakan pada mereka saya tak enak badan," kataku pada. Ibu dengan cepat. "Katakan juga, kalau ini pertemuan terakhir, tentu saja saya akan datang. Tapi, kalau bukan, kami akan datang besok." Ketika Ibu keluar buat berbicara dengan para pengawal, segera aku membuka kembali pesan yang telah ditutup. Aku ganti dengan pesan baru.

"Saya kira mereka memanggil kami untuk bertemu Ayah buat yang terakhir kalinya," tulisku dengan tergesa-gesa pada kawan-kawan di luar, dengan harapan mereka akan mengontak seluruh jajaran pimpinan Partai. Harapanku, mereka akan membocorkan berita itu ke kalangan korps diplomatik dan kemudian menggerakkan massa. Rakyat adalah harapan kami yang terakhir.

"Bawa ini segera pada Yasmin," kataku pada Ibrahim, pelayan kami yang setia. Dia pun tahu, kami sedang menempuh risiko besar. Ibrahim tak punya waktu lagi menunggu sampai datang giliran jaga para penjaga yang biasanya lalai atau yang bersimpati kepada kami. Ia bisa digeledah atau diikuti. Tapi ia tak mungkin lagi mempersiapkan diri. Bahayanya memang besar, tapi apa yang diperjuangkan lebih besar dari itu. "Pergi sekarang juga, Him!" kataku memerintah, "katakan kepada para penjaga itu bahwa kau sedang terburu-buru untuk mengambil obatku."

Aku melongok dari jendela. Kulihat para petugas militer berunding sesama mereka. Kemudian mereka mentransmisikan pesan bahwa aku masih sakit, melalui radio lalu menunggu jawaban. Ketika itulah Ibrahim muncul setengah berlari. "Saya mesti mengambil obat buat Nona Muda Benazir, cepat, cepat," teriaknya. Ajaib, mereka membiarkannya pergi, mungkin karena sudah tahu, kesehatanku sering terganggu. Kemudian tanganku bergetar tak hentinya. Berharap, pesan yang dibawanya akan sampai dengan selamat ke orang yang dituju.

"Karena anak Anda sakit, ia diperbolehkan menjenguk ayahnya besok," kata pejabat itu kepada Ibu. Ini berarti kami telah berhasil memperpanjang umur Ayah dengan 24 jam lagi.

Namun, ketika pintu gerbang berderik setelah Ibrahim lenyap, kami tahu bahwa sesuatu yang paling buruk akan segera terjadi. Berjuang! Kami mesti berjuang. Aku merasa tak berdaya ketika detik-detik menjelang kematian Ayah makin mendekat. Tapi bagaimana dan dengan cara apa? Beranikah rakyat bangkit melawan di hadapan bedil dan bayonet yang selalu terhunus sejak adanya kup? Dan siapa yang akan memimpin mereka? Banyak pemimpin dan pendukung PPP yang telah dijebloskan ke dalam bui. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah Pakistan wanita pun ikut dipenjarakan. Tak terhitung pula ribuan orang yang didera atau mendapat semprotan gas air mata, hanya karena mereka berani menyebut nama Ayah. Akankah rakyat menyambut seruan putus asa ini? Atau, maukah mereka mendengarkan itu?

Jam 8.15 malam, kami memasang radio dan mendengarkan laporan Asia yang dipancarkan BBC. Setiap otot di tubuhku menegang. Seperti yang kuharapkan BBC mengatakan bahwa besok, 3 April 1979, merupakan pertemuan terakhir antara aku dan Ayah. Ternyata, pesan itu sampai ke tujuan! Aku menunggu sampai radio itu menyiarkan bahwa aku telah mendorong rakyat untuk mengadakan aksi-aksi protes. Tak ada satu pun berita tentang itu. Malah BBC terus melaporkan bahwa tak ada konfirmasi dari para pejabat penjara tentang kebenaran berita itu. "Benazir Bhutto sedang panik," demikian radio itu mengutip pernyataan salah seorang yang pernah jadi menteri di bawah Ayah. Aku dan Ibu tak berani memandangi wajah masing-masing. Harapan terakhir kami telah musnah.

Gerbang penjara terbuka dengan tergesa dan kemudian menutup kembali. Ibu dan aku digeledah untuk kedua kalinya oleh sipir. Penggeledahan pertama terjadi ketika kami meninggalkan penjara Sihala.

"Mengapa kalian ada di sini?" tanya Ayah dari balik selnya. Ibu tak menyahut.

"Apakah ini pertemuan terakhir?" tanyanya. Ibuku tak kuasa menjawab.

"Saya kira begitu," sahutku.

Dipanggilnya pejabat penjara yang berdiri tak jauh dari kami. "Apakah ini pertemuan terakhir?" tanya Ayah.

"Ya," jawab penjaga itu Ia seperti malu memikul tanggung jawab sebab mengatakan itu kepada kami.

"Apakah tanggalnya sudah ditentukan?"

"Besok pagi," katanya lagi.

"Jam berapa?"

"Menurut peraturan penjara, jam lima."

"Kapan kau menerima berita ini?"

"Tadi malam," katanya dengan ragu. Lalu Ayah memandangnya.

"Berapa lama aku diperbolehkan bersama dengan keluargaku ?"

"Setengah jam."

"Menurut peraturan penjara, kami diperbolehkan punya waktu satu jam," kata Ayah.

"Setengah jam," kata penjaga itu lagi. "Begitu perintahnya untuk saya."

"Aturlah agar aku bisa mandi dan bercukur," kata Ayah kepadanya.

"Dunia begini indah dan aku ingin meninggalkannya denganbadan bersih," sambung Ayah.

Setengah jam. Setengah jam buat mengucapkan selamat jalan kepada orang yang paling kucintai di dunia ini. Rasa pedih di hati berubah menjadi dendam. Aku tak boleh menangis. Aku tak boleh luluh karena akan menyebabkan siksaan yang dialami Ayah lebih parah. Ia duduk di lantai di atas kasur. Itulah satu-satunya perabotan yang tertinggal di selnya. Mereka telah menyingkirkan meja dan kursi. Juga tempat tidurnya.

"Bawalah ini pulang," katanya kepadaku sambil menyodorkan majalah-majalah yang kukirim untuknya. "Aku tak mau mereka menyentuh barang-barangku." Ia juga menyerahkan beberapa batang cerutu yang dibelikan oleh pengacaranya. "Aku akan menyimpannya sebatang untuk malam ini," katanya lagi. Ia juga menyimpan minyak kolonyenya yang bermerek Shalimar.

Ayah mulai melepaskan cincin dari jarinya untuk diberikan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
KOBARAN API REVOLUSI PRANCIS
1989-07-15

Nukilan buku "citizens: a chronicle of the french revolution" karya simonschama. diterbitkan oleh alfred a.…

B
BENAZIR BHUTTO MENUTURKAN ...
1989-01-14

Nukilan buku "daughter of the east" karya benazir bhutto. london: hamish hamilton, 1988. benazir menuturkan…

K
KENANG, KENANGLAH RUNTUHNYA SYAH ...
1989-02-11

Nukilan buku 'the shah's last ride: the fate of an ally" menceritakan hari-hari terakhir syah…