Sepuluh Tahun Dalam Badai
Edisi: 35/19 / Tanggal : 1989-10-28 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis :
Ide Anak Agung Gde Agung, ketika menjabat Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, menolak pembentukan Pemerintah Federal Sementara tanpa keikutsertaan Soekarno dan pemimpin-pemimpin republik lainnya. Tetapi, di zaman Demokrasi Terpimpin, Bung Karno memenjarakannya. Inilah sebagian perjalanan hidup putra raja Gianyar yang lahir pada 24 Juli 1921 itu. Ia menerima gelar sarjana hukum di Jakarta dan gelar Doktor ilmu sejarah di Utrecht, Negeri Belanda. Pernah menjabat berbagai posisi penting seperti: Mendagri NIT, Perdana Menteri NIT, Mendagri RIS, Menlu RI, Dubes di beberapa negara, anggauta lembaga proyek-proyek lanjutan -- Institute for Advanced Project -- di East-West Center, Honolulu; juga penulis kolom di majalah Star Weekly. Penuturan atas permintaan TEMPO ini disampaikan kepada Priyono B. Sumbogo.
PADA Juli 1945 masyarakat Bali melihat bintang bercahaya terang yang berekor panjang di ufuk timur. Bagi masyarakat Bali, ini adalah pertanda akan tibanya suatu musibah akibat pergantian zaman atau kekuasaan. Menjelang terjadinya "Puputan Badung" bulan September 1906 dan sirnanya Kcrajaan Badung, orang juga melihat bintang berekor.
Pada 14 Agustus 1945, saat saya sedang menunggu bayi pertama di rumah sakit di Denpasar. Kurang lebih pukul 3 sore saya diberi tahu oleh seorang petugas daerah Gianyar bahwa semua shucho -- kepala daerah -- diperintah agar menghadap panglima tentara Jepang di Bali. Ia seorang kolonel angkatan laut bernama Hashimoto.
Kira-kira pukul 4 sore, kami para shuchf yang dapat dihubungi berkumpul di Markas Besar Angkatan Laut Jepang di Denpasar. Markas itu terletak di rumah bekas asisten residen Belanda, dan sekarang menjadi kediaman resmi Gubernur Bali. Di ruang kerja Kolonel Hashimoto, pertemuan itu berlangsung dalam keadaan dan suasana amat tertekan. Kolonel Hashimoto berpidato dengan tersendat-sendat, yang diterjemahkan oleh seorang juru bahasa.
Dari pidato tersebut, kami mendengar bahwa Amerika telah menjatuhkan genshi bakudan -- bom atom -- di Hiroshima dan Nagasaki. Berdasarkan keadaan menyedihkan ini, Tenno Heika memerintahkan agar Angkatan Perang meletakkan senjata dan terpaksa minta damai dan menyatakan takluk pada semua tuntutan Sekutu, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan Postdam.
Kolonel Hashimoto berterima kasih atas kerja sama shucho dan rakyat Bali di masa silam. Hashimoto juga mendoakan agar Pulau Bali di masa akan datang dapat menghadapi masa peralihan yang sulit itu. Dia menerangkan juga bahwa sebelum pasukan Sekutu tiba di Bali, Angkatan Perang Jepang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di Bali.
Selama mendengarkan pidato, pikiran saya berada pada istri saya yang sedang berjuang melahirkan bayi. Ketika pertemuan dengan panglima itu selesai, saya cepat-cepat pergi ke rumah sakit untuk mendampingi istri yang sedang bergulat dengan kesakitan menghadapi krisis kelahiran bayi kami.
Tidak lama kemudian, lahirlah bayi kami dengan selamat, bayi laki-laki. Jam menunjukkan pukul 4.30 sore. Saya dan istri saya sangat gembira dan bahagia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa anak laki-laki yang lahir tepat pada berakhirnya Perang Pasifik.
Berakhirlah pendudukan tentara 3epang yang telah membawa begitu banyak malapetaka bagi rakyat Bali, dan terutama bagi keluarga kami. Ayah saya, Ide Anak Agung Ngurah Agung, ditangkap Kenpeitai -- polisi militer Jepang pada Agustus 1943 karena menentang pemerintahan militer Jepang dan kemudian diasingkan ke Lombok. Nampaknya Jepang, yang takut akan menerima konsekuensi dari tindakannya terhadap ayah saya itu, buru-buru memerintahkan agar Ayah dibebaskan dan diberangkatkan segera ke Bali. Kemudian saya mendengar kabar bahwa pada 14 Agustus Ayah mendapat perintah dari petugas Jepang di Selong, Lombok Timur, agar bersiap-siap diberangkatkan ke Bali.
Pada 15 Agustus 1945 Ayah berangkat dari Ampenan, Lombok Barat, menumpang kapal kayu kecil bermotor menuju pelabuhan Padangbai di Bali Timur melalui Selat Lombok yang terkenal ganas dengan ombaknya yang besar. Setelah diombang-ambingkan badai besar, sore hari Ayah tiba di Padangbai. Dan seketika meneruskan perjalanan pulang ke Puri Agung Gianyar. Dengan mengucapkan doa syukur, kami sekeluarga bertemu kembali dengan Ayah, yang selama dua tahun meringkuk di pengasingan.
Saya adalah putra sulung raja Gianyar, Ide Anak Agung Ngurah Agung. Ayah mempunyai sembilan anak dari berjenis ibu. Poligami pada waktu itu adalah soal biasa. Beliau memiliki 24 istri. Saya dilahirkan di Puri Agung Gimyar pada 24 Juli 1921. Ibu saya adalah putri Punggawa Ubud Cokorde Gde Sukawati, yang sangat terkenal di Pulau Bali. Ibu berasal dari golongan bangsawan, dari puri yang kedudukannya sama dengan Ayah.
Karena anak sulung, sayalah pewaris utama takhta Ide Anak Agung Ngurah Agung. Dan saya termasuk generasi kesepuluh dari dinasti Manggis, yang berkuasa di Gianyar semenjak awal abad ke-17.
Kerajaan Gianyar adalah salah satu di antara sembilan kerajaan di Pulau Bali. Didirikan oleh Dewa Manggis Kuning, yang kemudian menyebut keturunannya dengan nama Dinasti Manggis. Ayah saya memangku jabatan raja setelah Gianyar berada di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Beliau menggantikan kakek saya pada 1913.
Kakek saya, Dewa Gde Raka, memangku jabatan raja pada 22 Desember 1896. Waktu itu Kerajaan Gianyar masih bebas dan berdaulat. Namun, pada masa itu timbul perang saudara antarkerajaan di Bali Selatan. Dan Kerajaan Gianyar dimusuhi dan diserang oleh Kerajaan Klungkung, Badung, Tabanan, dan Bangli. Dewa Gde Raka sadar bahwa dia tidak dapat mempertahankan integritas kerajaannya terhadap serangan empat kerajaan itu. Untuk menghindarkan kehancuran -- dan atas desakan para pemuka rakyat -- dia mengadakan pendekatan dengan Pemerintah Belanda untuk menempatkan Gianyar di bawah perlindungan Pemerintah Hindia Belanda.
Pada Maret 1900 ditandatanganilah sebuah pernyataan antara Dewa Gde Raka dan Residen Belanda, F.A. Liefrinck, di Gianyar. Sejak itulah Gianyar berada di bawah perlindungan Belanda dan Dewa Gde Raka diberi gelar Sredehouder -- wakil Pemerintah Hindia Belanda di Gianyar.
Puri Agung Gianyar sekarang masih utuh dan tegak berdiri di Kabupaten Gianyar. Di dalam puri inilah masa kanak-kanak saya berlangsung sampai saya mengakhiri Hollandsch Inlandsche School (HIS) sekolah dasar pada waktu itu.
Tata kehidupan di dalam puri semasa saya kanak-kanak tidaklah berbeda dengan apa yang telah berlaku berabad-abad lamanya. Yakni dengan norma-norma dan tata krama yang ketat. Kurang lebih 100 orang bermukim di puri itu. Terdiri dari keluarga, petugas-petugas, dan abdi dalem yang makan tidur di sana sebagai satu keluarga besar. Ayah saya menjadi kepala keluarga, sebagai primus interparis yang dihormati dan disegani. Segala perintah dan petunjuknya harus dilaksanakan secara mutlak tanpa reserve.
Ayah tidak mendapat pendidikan formal di sekolah. Maklum, waktu kecilnya di Gianyar belum ada sekolah. Beliau memperoleh pendidikan di rumah, dalam bidang agama, adat, sejarah, dan sastra Hindu Jawa dari pendeta-pendeta dan pakar-pakar umat Bali. Untuk memberi pelajaran membaca dan menulis huruf Latin, ditunjuk seorang guru khusus.
Sekalipun demikian, beliau mempunyai pandangan yang jauh. Beliau muncul sebagai pemimpin yang berwibawa. tegas, dan cakap. Beliau menjadi seorang administrator dan pamong yang disegani dan dihormati. Ini dapat saya buktikan lewat pengalaman saya waktu masih kanak-kanak dan remaja.
Beliau mendidik saya agar berkembang menjadi manusia yang baik, jujur, hormat kepada orangtua, saleh, tekun beragama, menghormati sila-sila agama Hindu Bali dan adat yang berlaku. Beliau juga mengajarkan agar saya menghormati tata krama dan aturan protokoler di lingkungan puri dalam pergaulan hidup di antara para bangsawan.
oleh karena itu, sekalipun masih kecil, saya diwajibkan menyertai beliau pada tiap upacara agama di pura-pura dan upacara-upacara adat. Saya juga diajak menghadiri pembacaan-pembacaan sastra kuno Jawa Hindu yang sangat beliau minati. Kemahiran beliau tidak ada tandingannya di Bali. Maka dari itu, dalam usia sangat muda saya sudah mengenal cerita-cerita wayang dan kisah-kisah sastra kuno Jawa Hindu seperti Ramayana, Bharata Yudha, atau Adi Parwa. Pendeknya, semenjak masih muda, Ayah telah meletakkan dasar yang kuat dalam kehidupan dan perilaku saya mengenai kebudayaan, adat, dan agama hindu Bali yang menjadi sendi kehidupan saya, way of life saya.
Ketika di Klungkung -- kurang lebih 10 kilometer dari Gianyar -- dibuka HIS, pada 1928 Ayah mengirim saya bersama saudara perempuan saya, Anak Agung Isteri Muter, ke sana. Waktu itu saya berusia tujuh tahun. Inilah pendidikan formal bagi saya. Akan tetapi, saya tidak meninggalkan adat, perilaku, pemikiran-pemikiran, dan agama Hindu. Saya tetap tinggal di Puri Agung Gianyar. Tiap hari mondar-mandir naik mobil tua ke Klungkung.
Pada 1934 saya menyelesaikan pendidikan HIS. Di Bali pada waktu itu tidak ada sekolah menengah. Karena Ayah berpendapat bahwa saya dan saudara perempuan saya harus mendapat pendidikan lanjutan, maka kami berdua dikirim ke Malang, Jawa Timur, ke MULO di sana sekarang setingkat SMP. Sekali lagi Ayah memperlihatkan pandangan yang sangat jauh. Walaupun mendapat tantangan keras keluarga, Ayah tetap mengirimkan anak perempuannya sekolah ke Malang.
Yang mencolok, kami berdua ditempatkan -- indekos pada keluarga Belanda totok, yaitu keluarga Van Velthoven, Direktur MULO. Ayah membayar uang kos Fl.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…