ARSIP HIDUP SEJARAH PERJUANGAN

Edisi: 04/19 / Tanggal : 1989-03-25 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis :


Berhenti sebagai ketua MPRS, 1972, Jenderal Purnawirawan Abdul Haris Nasution, yang 13 tahun memimpin TNI-AD dan ABRI,seperti "tersisih". Memasuki usia ke-71, ia masih manpak segar bugar dan menyala menuliskan memoarnya. Jilid ke-8 Memenuhi Panggilan Tugas baru saja terbit. Berikut ini peletak sistem perang gerilya, otak penumpasan pemberontakan PKI Madiun dan -- sebagaimana diakuinya sendiri -- sisi arsip hidup sejarah perjuanagn, ini kami minta bercerita tentang perjalanan hidupnya lewat wartawan kami: Budiman S. Hartoyo, Priyono B. Sumbogo, Bambang Bujono, Isma Sawitri, dan Amran Nasution.

MATAHARI belum muncul ketika say bangun. Setiap pagi saya memang biasa bangun pukul 4, lalu sembahyang subuh. Biasanya salat berjamaah, atau sendiri-sendiri. Sejak masih jadi prajurit dulu, saya tidak pernah meninggalkan kewajiban salat lima waktu. Kita berasal dari pada-Nya, dan akan kembali pula kepada-Nya.

Dalam keadaan bagaimanapun juga saya berusaha tidak meninggalkannya. Dan selalu saya usahakan tepat pada waktunya. Sikap ini juga saya terapkan pada cucu-cucu saya. Kalau saya terlambat bangun, kadang-kadang cucu saya membangunkan saya.

Biarpun terlambat bangun, saya tetap salat subuh. Sebab, hanya ridha Allah juga yang saya harapkan. Apalagi dalam usia tua seperti sekarang. Teman-teman seangkatan sudah banyak yang mendahului saya. Setiap kali ketemu dengan kawan seangkatan, saya kerap bergurau, "Di antara kita, siapa yang duluan menghadap-Nya?" Yah, apa lagi sih yang bisa saya lakukan sekarang selain mendekatkan diri dan berbakti kepada Allah.

Selepas subuh, biasanya saya jalan-jalan. Ya, di sekitar rumah saja. Sendirian, tapi sering pula bersama cucu saya. Dulu main tenis, sekarang tidak. Maka, saya kadang-kadang iri juga melihat Bu Nas keluar menenteng raket tenis. Untuk menjaga kesehatan, saya mengatur irama hidup yang baik. Sebab, belakangan ini dokter menganjurkan agar saya banyak istirahat.

Dan alhamdulillah, kesehatan saya berangsur-angsur membaik, meski jantung saya pernah dibelah pada akhir 1986 di Amerika Serikat, dan kini memakai katup jantung. Dokter yang membedah jantung saya bilang, saya ini a strong old soldier. Yah, hal itu mungkin karena dulunya saya terbiasa hidup bersih dan tertib. Juga selalu belolahraga.

Ketika jantung saya dibelah, selama sembilan jam saya hidup dari mesin. Tapi sebulan kemudian kesehatan saya sudah pulih. Malah pulangnya ke tanah air, mampir ke Tanah Suci melakukan ibadah umroh. Tentang kesehatan saya selama ini, seperti Anda lihat sendiri, saya sehat. Semua ini berkat Allah swt., dan jua usaha saya mengatur irama hidup yang teratur. Tekanan darah saya dulu memang agak tinggi: 160/90. Tapi sekarang stabil, hanya 120/80.

Dengan kondisi kesehatan seperti itu, saya sering bergurau dengan kawan-kawan lama. "Kalau harus bergerilya lagi, saya nggak akan ikut. Kalian saja yang pergi. Bukan apa-apa, sebab dalam usia tua seperti sekarang ini, saya tak bisa lepas dari rumah sakit. Setiap bulan darah dan jantung saya diperiksa di Rumah Sakit Harapan Kita. Kalau bergerilya di hutan, siapa yang mengukur-ukur darah dan memeriksa jantung kita?

Sebab, darah dan klep jantung saya kan ada kaitannya. Kalau darah terlalu kental atau terlalu encer, itu tidak baik, akan mengganggu kerja klep jantung yang dibikin dari logam itu. Tapi dalam soal makanan, saya masih tetap makan makanan kesenangan saya sejak dulu, yaitu lalapan dan sambal. Itu jenis lauk-pauk yang paling saya senangi sejak dulu.

Saya bahkan menanam sendiri beberapa macam sayuran di belakang dan samping rumah: kecipir, terung, cabe, kacang panjang, kemangi, kemlanding. Setiap hari saya memeriksa, bahkan kadang-kadang menyiraminya sendiri. Setiap hari pula saya makan dengan lalapan yang dipetik dari kebun saya sendiri. Terhadap lalapan, saya memang luar biasa senang. Bila disuruh memilih daging ayam atau lalapan, saya akan memilih lalap.

Mungkin ini hikmah dari zaman perang gerilya di hutan-hutan dulu. Dulu, di tengah-tengah perang dan desingan peluru, saya banyak makan lalap-lalapan. Bahkan sampai sekarang, tanpa sambal penyedap pun, lalapan itu saya santap juga. Barangkali itu sebabnya saya tetap sehat. Tapi tentu juga karena saya selalu bersikap pasrah dan mengharapkan ridha Allah swt. Itulah yang saya sebut "menjaga irama hidup".

Acara setiap hari, kadang membaca atau menulis, menghadiri pertemuan atau ceramah, ngobrol dengan keluarga. Terutama dengan cucu. Dua putri saya kan tinggal satu, yang seorang, Ade Irma Suryani, gugur ditembak Pasukan Cakrabirawa yang mendukung G30S-PKI pada 1965. Cucu saya empat: dua di SMA, dua lagi masing-masing di SMP dan SD. Kalau pulang dari pertemuan, saya tidak lupa membawa kue untuk oleh-oleh cucu saya. Saya juga suka memeriksa buku rapor cucu saya.

Cukup repot mendidik disiplin dan agama pada mereka. Mereka sama-sama saya sayangi. Kalau mereka berkelahi, sulit bagi saya mendamaikannya sebagai penengah. Karena yang salah kan mesti disalahkan. Tapi tempo-tempo ada yang protes kenapa disalahkan.

Soal menulis buku merupakan acara yang tidak rutin. Ya, kalau lagi mau saja. Ya, katakanlah "musiman". Malah kadang-kadang selama berhari-hari tidak menulis. Kalaupun membaca atau menulis, paling-paling sampai pukul 3 sore. Di malam hari, paling-paling sampai pukul 8 malam. Tapi saya akan tetap menulis.

Menulis memang merupakan kerja ilmiah yang paling saya senangi, sudah jadi cita-cita sejak saya masih jadi prajurit. Saya akan tetap menulis, sampai saya meninggal. Saya menulis dengan tangan, lantas diketik orang lain. Dulu, di awal tahun 50-an, ketika masih menjabat sebagai Kasad, saya punya petugas pengetik. Namanya Tugeno. Dialah satu-satunya orang yang bisa membaca tulisan tangan saya. Orang lain tidak bisa baca.

Dialah yang sampai sekarang membantu saya mengetik tulisan-tulisan tangan saya itu. Sedang yang memeriksa Drs. M. Marbun, dosen sejarah FS-UI. Dulu, selain minta bantuan Pak Marbun, saya juga minta bantuan almarhum Nugroho Notosusanto, bekas Menteri P dan K itu. ABRI waktu itu memang bertekad menyusun sejarah yang benar, setelah melihat gelagat PKI hendak menyimpangkan sejarah.

Soal referensi, saya memang banyak membaca beberapa buku. Tapi tidak begitu banyak yang saya gunakan sebagai referensi. Malah kalau ada orang hendak menulis sejarah perjuangan bangsa atau operasi militer, mereka biasanya datang kepada saya. Juga ada anak-anak sekolah atau mahasiswa yang datang bertanya ini-itu kepada saya, hingga hampir saya kehabisan waktu buat istirahat atau menulis. Tapi saya senang menerima mereka.

Kadang-kadang saya memang memerlukan beberapa arsip, untuk mencocokkan nama, tanggal, tempat, jumlah pasukan. Ini saya ambil dari terbitan-terbitan Hankam. Yang detail seperti itu, saya kan tidak hafal. Namun, mengenai seluruh siasat operasi, tentu saja tidak usah saya cari lagi karena ketika itu kan saya sendiri yang bikin. Operasi PRRI, misalnya, sudah ada di kepala saya. Cara saya menulis memang lain dari para ahli sejarah. Saya lebih mengandalkan ingatan dan pengalaman.

Pengantar, kerangka, isi, dan hal-hal lain yang penting saya susun sendiri, dengan tulisan tangan itu, lalu diketik oleh Pak Tugeno. Beberapa hal yang tidak saya ingat lagi seperti hari, tanggal, nama tempat, saya kosongkan dulu, kelak dicari di dokumentasi. Khusus genai penulisan buku Sekitar Perang Kemerdekaan yang 11 jilid itu, saya banyak memanfaatkan arsip Markas Besar Tentara.

Royalti dari buku tidak seberapa, karena daya beli rakyat kita masih amat rendah, hingga buku saya kurang laku. Malah saya lebih sering membeli buku-buku saya sendiri untuk memenuhi permintaan para pelajar atau mahasiswa dari berbagai pelosok.

Hidup saya sekarang ditunjang oleh empat macam pensiunan. Pensiun sebagai jenderal, pensiun bekas menteri, pensiun bekas Ketua MPRS, dan royalti buku. Untuk menunjang hidup sehari-hari, ya kurang. Itulah sebabnya keluarga kami selalu bergotong-royong. Misalnya bila saya berulang tahun, masing-masing datang membawa makanan sendiri.

Tapi menghadapi hal itu, terutama Bu Nas, sudah terbiasa. Kami dulu kan juga pernah kekurangan di zaman gerilya. Sejak pensiun pada 1972, secara formal saya ini kan "tunakarya". Tidak ada tugas resmi. Juga tak punya bisnis seperti halnya kebanyakan teman purnawirawan jenderal yang lain.

Kadang-kadang membantu Bu Nas dalam kegiatan sosial. Tapi yang banyak makan waktu ialah meladeni mahasiswa atau sarjana yang riset mempersiapkan skripsi atau disertasi. Saya ini kan bisa disebut sebagai "sisa arsip hidup" sejarah perjuangan.

Kini saya sedang mendalami lagi bahan-bahan mengenai perang gerilya, untuk melengkapi buku saya yang sudah terbit. Hal ini perlu, antara lain untuk memperjelas kondisi, situasi, dan posisi serta pemikiran lawan, yang dulu tidak banyak kita pahami. Dengan demikian generasi sekarang dapat secara lebih tepat menilai jawaban-jawaban kita terhadap tentangan-tantangan yang dulu kita hadapi.

Biasanya buku-buku Belanda mengenai perang kemerdekaan oleh penulisnya dikirimkan kepada saya. Tapi yang sangat menarik ialah diskusi dengan bekas para pelaku pihak sana. Baik sipil maupun militer, baik yang di staf maupun yang di kesatuan-kesatuan di lapangan. Misalnya diskusi dengan perwira Belanda yang dulu merencanakan penyerangan ke Yogya pada 19 Desember 1948 atau serangan 1 Maret 1949. Kita memang belum memiliki kesadaran yang baik untuk memelihara arsip. Arsip saya dari masa perang kemerdekaan tinggal sedikit sekali. Dulu pernah saya menyerahkannya ke Mabad, tapi hilang satu peti.

Sedang arsip saya sejak saya dua kali jadi Kasad banyak yang dimakan rayap karena disimpan di garasi. Sudah beberapa lama ini saya punya sebuah ruangan, luasnya sekitar 4 x 5 meter. penuh bertumpuk dengan buku. Dari lantai sampai langit-langit setinggi sekitar tiga meter. Susunannya memang berantakan, tidak keruan. Tetapi saya hafal letak buku dan arsip-arsip yang saya perlukan. Kalau diatur lagi, malah mungkin saya sulit mencarinya.

Tapi ini bukan tempat saya bekerja. Hanya kadang-kadang saja saya masuk kemari mencari data yang diperlukan untuk melengkapi tulisan. Sekarang…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…