GURU YANG MENDIDIK, BUKAN MENGAJAR

Edisi: 09/19 / Tanggal : 1989-04-29 / Halaman : 43 / Rubrik : MEM / Penulis :


Dilahirkan dii Wonosobo, Jawa Tengah, 7 September 1907, Prof. Slamet Imam Sntoso adalah seorang ahli penyakit saraf dan jiwa yang mengalami pendidikan masa Belanda. Pendiri dan dekan pertama Fakultas Psikologi UI, yang kemudian sempat menjadi Pejabat Rektor UI, ini orangnya unik. "Ciri orang pandai, bisa menyederhanakan hal yang ruwet, sebaliknya orang bodoh akan meruwetkan soal sederhana," ucapnya satu ketika. Menyongsong Hari Pendidikan 2 Mei, TEMPO meminta tokoh ini menuturkan kisah hidup dan kesan-kesannya mengenai gaya pendidikan di masa Belanda, lewat wartawan kami Syafiq Basri Assegaf.

DI zaman penjajahan Belanda dulu, ada sekitar 15 sampai 17 juta anak usia sekolah. Tapi yang diterima di sekolah Belanda, maksud saya sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, hanya 1,2 juta orang. Jadi, tidak sampai 10%. Nah, saya ingin membicarakan yang 10% ini, sebab mereka benar-benar dididik secara matang, dan tidak luntur setelah lulus ujian.

Karena mereka mendapat pendidikan yang matang dan disiplin yang ketat, maka mereka menjadi orang-orang pintar, menyerupai orang-orang Belanda. Seperti yang saya alami sendiri ketika saya lulus dari AMS B (setingkat dengan SMTA sekarang) di Yogyakarta pada 1926. Direktur sekolah itu membagi ijazah.

Sambil menjabat tangan kami satu per satu, Belanda totok itu berkata, "Deze inlandsche kinderen zijn pientere kinderen. Zij beheerschen het Nederlandsch, Engelsch, Duitsch, en Fransch, beter dan onze eigen kinderen" (Anak-anak inlander ini pinter-pinter sekali. Mereka mampu menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis lebih baik dari anak-anak kita sendiri). Yang dimaksud dengan "inlander" adalah pribumi.

Memang, bahasa adalah alat pertama dalam pendidikan. Dan yang dimaksud dengan "bahasa" di sini bukan bahasa sehari-hari, bukan bahasa untuk membeli kacang, tahu, tempe, atau kedelai di pasar. Bukan. Tapi bahasa pendidikan yang harus memenuhi syarat, yaitu: singkat, jelas, tepat. Lagi pula, kata-katanya harus pas, tidak boleh lebih. Lalu, setiap kalimat harus punya satu makna saja. Tidak boleh makna ganda. Itulah syarat menyusun kalimat kalau kita mau mendidik manusia.

Zaman dulu, gaji guru itu besar. Kira-kira 15 sampai 20% lebih tinggi dari semua jenis pegawai. Saya dulu dokter kelas dua. Untuk naik nenjadi dokter kelas satu harus makan waktu beberapa tahun. Waktu itu, tahun 1932, dengan pangkat serendah itu, gaji saya sudah 450 gulden.

Ketika itu, karena saya juga menjadi asisten dosen, saya mendapat tambahan uang berupa tunjangan 150 gulden. Jadi, total gaji saya 600 gulden. Kawan yang tidak ditugasi mendidik, ya tetap 450 gulden. Dan tidak seperti gaji yang diterima guru di beberapa daerah di zaman sekarang, ketika itu saya tidak pernah terlambat menerima gaji.

Di zaman itu, satu gulden bisa untuk membeli telur ayam 50 butir. Jadi, nilainya sama dengan Rp 3.000 atau Rp 4.000 uang zaman sekarang. Di zaman itu, guru sangat disiplin. Guru selalu datang ke sekolah lebih awal dari para murid, dan pulang paling akhir. Guru juga rajin melakukan inspeksi semua kelas, dan tidak pernah mbolos seperti perilaku guru di zaman sekarang. Jadi, karena gajinya sudah mencukupi untuk hidup sehari-hari, para guru tidak suka ngobyek.

Di zaman dulu, pegawai pemerintah umumnya dipensiun setelah bekerja selama 25 tahun. Umumnya mereka juga sudah siap menghadapi hari tua. Mereka sudah mampu membeli rumah sendiri. Janda-janda pensiunan pun, ketika itu, menerima tunjangan cukup besar. Jadi, mereka tidak perlu mencari tambahan penghasilan dengan membuka pondokan atau tempat kos seperti sekarang.

Hal lain yang sangat mengesankan saya di zaman itu ialah, semua orang, terutama para guru, tulisan tangannya sangat bagus. Tulisan itu tidak boleh serampangan. Mengapa tulisan tangan harus bagus? Pertama, agar orangnya teliti dan dapat mengatur diri sendiri. Kedua, orang lain dengan mudah dapat membaca, hingga tidak mempersulit orang lain.

Kalau berbicara pun, setiap kata harus diucapkan lengkap satu per satu, tidak boleh bersambung-sambungan. Dengan demikian, orang yang diajak berbicara mudah mendengar dan mengerti. Jadi, orang yang terdidik di zaman dulu itu menulis bagus, dan berbicara jelas, sekata demi sekata. Maksudnya, agar kita ingat bahwa ada orang lain, jadi kita harus menghormati orang lain. Begitu filosofinya.

Waktu di sekolah dulu, kalau tulisannya jelek, angkanya dikurangi. Jadi, kalau kami mendapat tugas mengarang tapi tulisannya jelek, maka nilainya tujuh dikurangi 1/4, jadi tinggal 7 minus. Kalau tanda bacanya kurang teliti, ada yang salah, dikurangi lagi 1/4, jadi tinggal 61/2. Kalau sampai mendapat nilai kurang dari 5 -- oleh karena kekurangan-kekurangan lain -- karangan diperiksa dan diperbaiki lalu dikembalikan, dan murid dihukum. Caranya, diwajibkan menulis lagi sampai 4-5 kali. Pokoknya, kalau di bawah lima, pasti kena hukuman.

Tulisan yang baik itu sangat bermanfaat. Terutama kalau kita hendak melihat arsip-arsip lama. Kalau kita jalan-jalan ke desa-desa yang sudah tua di Jawa Tengah, kita bisa mendapatkan buku-buku catatan lama di desa itu, dengan tulisan tangan yang jempolan. Mengenai arsip tulisan tangan yang bagus ini, saya punya pengalaman menarik. Pada tahun 1953 ayah saya meninggal di Purworejo, Jawa Tengah. Atas keputusan pengadilan, saya menjadi ahli waris dan mendapat sebuah rumah di desa.

Kira-kira tahun 1982, saya bermaksud menjual rumah tersebut. Untuk maksud itu saya harus datang sendiri ke kantor Agraria. Di sana ada seorang petugas yang bergelar doctorandus. Ia menanyakan kepada saya, apakah saya punya bukti bahwa ayah saya sudah meninggal. "Lho, soal ini kan sudah merupakan keputusan pengadilan? Bahwa bapak saya meninggal pada tahun 1953 disebutkan dalam keputusan tahun 1953 itu?" kata saya.

Tapi dia bilang, soal itu sudah kedaluwarsa. "Lho, memangnya saya harus memanggil ayah saya dari surga untuk jadi saksi?" kata saya lagi. Saya lalu ke kantor desa tempat rumah saya itu berada, bersama orang yang mau beli rumah itu dan si petugas yang doctorandus itu. Jaraknya cukup jauh.

Untunglah, di sana kami bertemu dengan carik desa yang usianya sudah 70 tahun. Carik itu juru tulis. Kantor desa itu sudah tua dan bolong-bolong. Pak Carik membuka lemari yang juga sudah tua, mengambil buku register. Bukunya juga sudah tua, kertasnya sudah berwarna kuning. Register itu bertulis tangan. Dan tulisannya jempolan, up to date sampai tahun 1982.

Pak Carik itu lantas bilang, "Kulo ingkang dados seksi, inggih bapak puniko ingkang kagungan hak waris griyo puniko. Sak meniko manawi bade dipun dawuhi, inggih monggo" (Saya yang menjadi saksi, ya bapak ini yang memiliki hak waris atas rumah itu. Sekarang kalau saya mau dipanggil, ya silakan).

Jadi, begitulah. Catatan kepala desa di zaman dulu itu betul-betul jempolan, tulisannya bagus dan teliti, up to date. Lagi pula, lihatlah Pak Carik itu. Orang yang sudah setua seperti itu masih sanggup menjadi saksi, dan bersedia dipanggil kapan saja. Itulah, orang zaman dulu itu ya seperti itu. Orang zaman sekarang? Ha, mesti kita sediakan amplop di bawah mejanya ....

Pendidikan di zaman Belanda itu juga sangat mementingkan disiplin. Itu tidak berarti anak-anak tidak ada yang nakal. Ada juga teman saya yang mendapat hukuman. Tapi itu semua dinilai sebagai kenakalan anak-anak biasa. Asal tidak mbolos, tidak bohong, dan tidak pernah mendapat nilai jelek, semua itu diterima sebagai kenakalan biasa.

Saya ingin bercerita ketika saya masih duduk di bangku MULO, di Magelang. Ketika itu umur saya baru, ya, sekitar 12 sampai 14 tahun. Dulu, di kelas saya kebanyakan anak-anak Jawa. Orang Jawa itu perangainya bagus-bagus, lho. Kartini kan orang Jawa. Ketika itu, ada semacam kode etik di antara anak-anak Jawa: kalau membeli apa-apa harus membayar lebih dahulu, baru boleh memegang barangnya. Siapa yang melanggar, dipisuhi, dicaci-maki.

Begitulah sikap kami ketika itu, padahal kami anak-anak waktu itu baru berusia belasan tahun. Nah, kalau lagi mengaso, kami jajan goreng tahu dekat kantor pegadaian di samping sekolah. Semua anak membayar dulu, sebenggol-sebenggol, baru boleh pegang piring. Sebenggol itu dua setengah sen. Kalau ada anak belum bayar tapi sudah pegang piring, kontan ditempeleng. "Bayar disik, ngisin-isini ora gelem bayar" (Bayar dulu, memalukan, tidak mau bayar)," kata teman-teman.

Suatu ketika ada beberapa murid Belanda, teman kami, yang nimbrung ikut-ikutan jajan. Tiba-tiba klinthing-klinthing-klinthing, bel sekolah berbunyi, dan kami harus segera masuk kelas. Anak-anak, termasuk anak Belanda itu, bergegas masuk kelas. Kira-kira 15 menit kemudian, si penjual goreng tahu datang diantar oleh direktur…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…