KOLOJENGKING YANG MENYENGAT KALAU ...

Edisi: 13/19 / Tanggal : 1989-05-27 / Halaman : 43 / Rubrik : MEM / Penulis :


Pemegang gelar Mahaputra Adipradana (1985) dan Perintis Kemerdekaan (1973) ini, lahir di Madiun, 28 Agustus 1902. Sepanjang hidupnya, sarjana hukum lulusan Universitas Leiden ini tak henti-hentinya mengabdi perjuangan bangsa. Sejarah mencatatnya sebagai salah seorang pendiri PNI (1927), Menteri Luar Negeri RI yang menyelenggarakan Konperensi Asia Afrika (1955), Duta Besar Indonesia di London dan anggota MPRS (1968). Prof. Mr. Sunario juga seorang pendidik yang memberi kuliah di lima universitas negeri dan tujuh universitas swasta. TEMPO meminta "Kolojengking" -- begitulah nama julukannya -- ini mengisahkan sebagian perjuangan dan kehidupannya, lewat wartawan kami Sri Pudyastuti R.

SEKARANG ini saya sedang menyusun otobiografi. Saya selalu mendengarkan siaran berita dan radio. Saya juga masih aktif di kepanduan. Saya pandu tertua di Indonesia. Sudah 70 tahun saya jadi pandu.

Seminggu tiga kali saya mengajar di Universitas Jayabaya dan Universitas Pancasila. Kalau saya mau mengajar, mereka menjemput saya di rumah. Saya tidak perlu kan punya mobil sendiri. Buat apa?

Oleh pemerintah kita disuruh hidup sederhana. Kan dikenal istilah delapan jalur pemerataan. Saya setuju itu. Anak-anak saya sih semua punya mobil. Ada lima orang anak saya. Mereka semua sudah orang sekarang. Pada mereka juga saya tanamkan hidup sederhana. Orangtua mesti memberi contoh. Sekarang ini banyak orangtua justru hidup bermewah-mewahan. Saya dengar 70% mobil yang ada di Jakarta ini milik pribadi.

Seorang sopir taksi juga pernah bilang begitu. Dia tidak bilang persentasenya, tetapi pendeknya mobil pribadi semakin banyak. Coba saja!

Sekarang saya menempati rumah sendiri. Rumah ini saya beli sendiri. Kan saya tidak perlu to seperti menteri-menteri yang lain, minta dicarikan rumah di Jalan Diponegoro. Ini sudah baik. Ini rumah peninggalan Belanda. Kuat sekali. Tapi begitulah, saya hidup sederhana. Kita ini sudah senang atau belum? Orang lain biar saja senang-senang silakan saja. Nanti hancur Indonesia.

Saya agak takut juga menempati rumah sebesar ini. Mau takut bagaimana, mau ndak takut bagaimana? Ketakutan saya lebih ke soal keamanan. Maka, listrik dan jendela-jendela selalu saya periksa baik-baik. Saya cuma tinggal di sini bersama istri dan satu pembantu. Cucu saya kadang-kadang datang ke sini menemani. Saya sebetulnya punya banyak pekerjaan. Banyak buku yang mesti saya baca. Saya juga tidak boleh terlambat mendengarkan radio.

Untuk membiayai hidup sehari-hari, saya dapat pensiun dari KNIP, dari DPR, dari perintis kemerdekaan, dan dari guru besar. Di mping saya sekarang ini kan masih mengajar. Mosok dikasih, saya tolak. Sekarang ini hidup saya tenteram. Cuma saja saya terus berdoa, anak saya ada 5, cucu 12, cicit 1 orang, mudah-mudahan mereka sehat walafiat. Saya tidak pernah olahraga. Pantangan makanan saya cuma pedas. Soalnya, kalau pedas perut saya gampang sakit.

Tahun 1989 ini, saya juga masih berjuang. Macam-macam. Saya menyumbangkan pikiran dengan misalnya ke DPR, berbicara tentang UU Pendidikan, bagaimana pendidikan sekarang kok seperti ini. Lantas juga soal demonstrasi mahasiswa.

Saya baca di koran Jayakarta tentang adanya hubungan yang tidak menyenangkan antara mahasiswa dan DPR. Mahasiswa kan mesti diberi harapan. Mereka itu macam-macam, ada yang ekstrem tapi juga ada yang biasa-biasa saja. Keadaan dulu lain dengan sekarang. Waktu saya jadi menlu dan duta besar di London. pintu saya buka lebar-lebar. Siapa pun boleh datang dan bertanya apa saja. Sampai sekarang juga masih begitu.

Sekarang ini, kalau saya mau pergi ke kementerian susah sekali. Saya mesti menulis namanya siapa, mau bicara dengan siapa, sudah ada janji atau belum? Ya, ndak? Ini susah buat saya. Jangankan mau ketemu menteri, mau ketemu sekjennya saja repot. Padahal, kedatangan saya juga untuk kepentingan para fungsionaris atau pejabat itu juga.

Saya prihatin sekali. Kapan saya bisa bicara dengan mereka? Saya kan bukan birokrat, saya ini pejuang. Saya ingin bertemu dengan seorang menteri, tapi saya undur-undur terus, karena saya takut . ... takut kalau dia tidak mau terima saya. Padahal, saya ini bekas menlu. Jadinya malah seperti rakyat biasa. Malahan saya pikir, enak jadi wartawan bisa interview kapan saja.

Saya sangat haus berita. Setiap hari saya baca Kompas dan Suara Pembaruan, juga siaran berita di radio dan teve. Kebiasaan ini sudah saya lakukan jauh hari sebelum saya jadi menlu. Saya tahu ada demonstrasi mahasiswa dari siaran RRI.

Ingatan saya masih terang dan baik. Saya bahkan tidak sulit mengingat cerita masa kecil saya.

Sunario itu sebenarnya bukan nama lahir saya. Nama saya dulunya Trusto. Lalu diganti jadi Sumantri, karena suka sakit-sakitan. Tetapi karena sakitnya tak juga reda, diganti lagi namanya jadi Sunario. Waktu nama saya masih Sumantri, saya suka bercanda dengan menyebut nama saya Sumantrasi hehehe .... Kemudian baru diganti lagi jadi nama Sunario.

Hubungan saya dengan Eyang memang lebih dekat. Tapi dengan Bapak saya juga dekat, tetapi bapak saya kan pangreh praja, wedana. Jadi, dia tinggal di luar kota. Sehingga, kemudian saya tinggal dengan Eyang, yang karena saya anak kecil yang mbarep -- sulung, sehingga saya disenangi di mana-mana.

Mengenai cara orangtua saya mendidik, ada cerita yang aneh dan ada yang lucu. Waktu umur empat tahun saya dibawa dari Madiun ke Solo. Di sana saya dimasukkan ke taman kanak-kanak. Lantas guru perempuan saya mengajar perkataan Ik eet, ik eet. Tidak ada perkataan bahasa Indonesianya. Saya takut, kalau Ik eet nanti saya dimakan. Saya tidak mau lagi masuk sekolah.

Banyak kejadian lucu ketika saya kecil. Sebelum saya ke Solo, saya diajak ke Ngrambi. Eyang saya wedana di sana. Di sana saya ikut-ikut mau belajar bahasa Jawa. Masuk sekolah desa. Lalu disuruh membaca oleh guru, lha kan nggak bisa. Saya nangis sambil keluar. Di luar ada pohon mangga. Lebat sekali buahnya. Saya senang sekali melihatnya. Banyak anak-anak yang mengambil. Tahu-tahu saya digendong sama mbakyu-nya eyang saya itu, dibawa ke rumah wedana. Saya nangis lagi. Soalnya, sedang senang-senangnya lihat mangga.

Di Solo saya pernah sakit cacar air. Lantas saya diobati dengan madu. Madu itu lalu ditempelkan ke seluruh tubuh sampai pliket semuanya. Geli rasanya, jadi saya nangis terus.

Dulu itu, cita-cita saya sebenarnya ingin jadi insinyur. Dari Madiun ke Surabaya kan dekat. Tapi lalu saya tertarik mendengar Batavia. Maka, saya pergi ke sana. Bersama eyang saya, Kartokoesoemo.

Waktu itu usia saya 16 tahun. Waktu saya masuk, Tri Koro Darmo belum bubar. Sebentar kemudian diganti jadi Jong Java. Di Batavia saya dititipkan ke om saya, jadi putranya eyang saya itu.

Keberanian dan kegigihan saya itu, setelah saya masuk Indonesische Verenigen, tahun '22, hingga saya ketemu Bung Hatta dan Dr. Soetomo yang sedang melanjutkan studi di Belanda. Saya sendiri, karena sekolah di Rechtsschool (Sekolah Menengah Hukum), harus menghafalkan apa saja tentang hukum, belum hukum internasional, tetapi hukum kolonial. Jadi, di situ kita bukan saja tahu prakteknya, tetapi juga tahu teorinya.

Seperti nama inlander itu, saya tahu pasal-pasalnya. Sampai soal subversi, saya tahu. Itu pentingnya saya sebagai, bukan mahasiwa, tetapi pelajar saja.

Dulu saya memilih sekolah hukum, karena di masa dulu itu, sekolah tinggi yang ada ya cuma itu. Memang ada sekolah tinggi kedokterin, tapi saya tidak tertarik sekolah kedokteran. Saya itu anak pertama dari 12 saudara, tetapi tiga adik saya meninggal.

Saya ini sarjana hukum. Jangan bicara kalau tidak ada bukti. Hobi saya sekarang ini mengaso. Habis mau apa? Pekerjaan saya banyak.

Soal Generasi dan Angkatan

Semasa saya jadi menlu dan dubes, saya tidak pernah menolak orang datang kepada saya, karena mereka datang tentu dengan keperluan, yang mungkin juga ada hubungannya dengan saya pribadi. Jadi, saya persilakan dulu mereka masuk. Kalau saya bisa melayani mereka saya temui. Kalau tidak bisa, saya bilang saja. Jadi, kalau bisa segera ditemui, ya segera. Tidak apa-apa menunda pekerjaan sebentar. Oleh karena apa, kita ini pejuang Bukan sekaedar pegawai negeri.

Malah saya juga bersikap tegas kepada dua duta besar asing. Saya tidak mau menyebutkan namanya. Pernah saya ketemu dia di suatu resepsi seorang duta besar. Dia menyatakan keluh kesahnya tentang pemuda-pemuda Indonesia yang menyerobot begitu saja gudang miliknya. Tidak tahu untuk apa. Lalu saya bilang, silakan datang besok di kantor. Di sini bukan tempatnya, bukan waktunya. Lalu dia mengadu ke sekjen deplu -- waktu itu…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…