RAJA JAWA MENGANTAR REVOLUSI ...

Edisi: 25/19 / Tanggal : 1989-08-19 / Halaman : 43 / Rubrik : NB / Penulis :


Budi Utomo dan Sarekat Islam lahir di pusat-pusat kerajaan Jawa. George Donald Larson, dalam: Prelude to Revolution: Palaces and Politics in Surakarta, 1912-1942 - disertasi doktor untuk ilmu sejarah di Northern Illinois University, Dekalb, Amerika Serikat, 1979 - mengungkap peranan raja-raja Jawa. Ternyata Pakubuwono X dan para bangsawan politisi Keraton Surakarta bukan hanya mendukung, tapi terjun langsung dalam kancah pergerakan nasional. Berikut ini nukilan dari disertasi tersebut.

BELANDA mulai menggigit Mataram dari dalam ketika kerajaan itu sedang keropos, di akhir pemerintahan Amangkurat (1645-1677).

Berkat campur tangan Kompeni (VOC), dinasti itu bernapas lagi. Tapi, sebagai imbalannya, VOC berhasil memaksakan dua perjanjian penting, mengenai konsesi ekonomi dan teritorial. Selanjutnya sejarah Mataram diwarnai cakar-cakaran dalam istana, pemberontakan bangsawan dan pejabat tinggi, serta permainan Belanda dalam konsensi ekonomi dan luas teritorial.

Pada tahun 1746 Pangeran Mangkubumi, saudara Susuhunan Pakubuwono II (1726-1749), membelot dan mengibarkan perang sampai tahun 1755, hingga tercapainya perjanjian Giyanti. Hasilnya, separuh daerah Mataram dan gelar Sultan Hamengku Buwono buat Mangkubumi. Pemberontakan lain pun pecah. Kali ini Raden Mas Said, keponakan Mangkubumi yang membantu Mangkubumi pada tahun-tahun awal pemberontakannya, seorang yang berwibawa dan jago perang. Hasilnya, perjanjian di Salatiga tahun 1757: R.M. Said berhak memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro, dan memperoleh 4.000 cacah dari wilayah Susuhunan Surakarta.

Terkeping-kepingnya Mataram oleh kalangan elite Jawa sempat dianggap kejadian sementara. Tapi setelah tahun 1755 muncul rasa khawatir, jangan-jangan kesatuan Mataram tidak kunjung pulih. Toh cita-cita kesatuan Mataram itu masih lekat, berkat "ramalan" Raja Jayabaya--penguasa daerah Jawa Timur dari abad ke-12. Ramalan itu menyebutkan, setelah didera penjajahan yang lama, akan tiba zaman kemerdekaan yang makmur sejahtera.

Pakubuwono IV (1788-1820) terpanggil. Rencananya untuk menegakkan Surakarta dan Jawa Tengah nyaris menimbulkan perang lagi di tahun 1789 hingga 1790. Suhu panas itu baru dapat dikubur setelah Surakarta dikepung oleh pasukan Belanda.

Di ekor abad ke-18 kerajaan-kerajaan Jawa semakin kehilangan pamor dan wilayahnya. Tahun 1799 Kompeni ambruk akibat korupsi. Harta kekayaannya diambil alih oleh negeri Belanda waktu itu merupakan protektorat Prancis. Tangan kanan Napoleon, H.W. Daendels (1808-1811), dikirim ke Jawa dengan kekuasaan mutlak guna memperbaiki pemerintahan dan memperkuat pertahanan di wilayah Hindia. Ia menggebrak para penguasa pribumi. Kekuasaan mereka dikurangi. Para residen kulit putih diberi atribut kerajaan seperti payung emas dan tidak usah angkat topi untuk menghormati penguasa-penguasa pribumi. Wilayah dan penghasilan Keraton Surakarta dan Yogyakarta dipangkas.

Walaupun pemerintahan Daendels pendek umurnya karena ditendang oleh Inggris, toh tangan besi Daendels ditiru oleh T.S. Raffles (1811-1816). Baru setahun berkuasa, ia sudah mencium bahwa Sultan dan Susuhunan diam-diam mengepalkan tangan. Sultan segera dicopot lalu dibuang, keratonnya dijarah. Perjanjian dengan kedua kerajaan itu diperbarui. Akibatnya, daerah dan pendapatan kerajaan menciut, administrasi pemerintahan dikontrol. Hak memiliki pasukan pun dicabut, tinggal segelintir kecil pengawal.

Pemaksaan perjanjian yang mencekik itu menyalakan amarah. Di bulan November 1815, hidung Raffles mengendus bau busuk dari Keraton Surakarta. Pemberontakan untuk memulihkan kejayaan Mataram itu dikenal dalam sejarah sebagai Perang Sepei atau Sepoy.Inggris, yang saat itu hendak meninggalkan Jawa, sengaja tidak mendakwa Susuhunan. Sebagai gantinya, salah seorang saudara Susuhunan diasingkan ke Ambon.

Ketika kembali ke Jawa, Belanda bertindak lebih hati-hati. Setelah pemberontakan Pangeran Diponegoro - Perang Jawa (1825-1830), Yogyakarta yang dianggap biangnya, dikenai denda wilayah. Agar seimbang, kue Surakarta pun digigit. Banyumas dan Kedu di sebelah barat, Kediri serta Madiun di sebelah timur, lepas dari Yogyakarta dan Surakarta.

Pakubuwono VI amat kecewa atas perampasan itu, lalu diam-diam pergi ke pantai Segara Kidul. Tapi ia tertangkap, ditawan atas tuduhan hendak menyulut pemberontakan, lalu dibuang ke Ambon.

Setelah semua itu, sepanjang abad ke-19 Surakarta dan Yogyakarta pucat pasi. Pada awal abad ke-20, Karesidenan Surakarta yang agraris sangat terbelakang dari kaca mata teknologi. Penduduk membengkak. Pada tahun 1905 tercatat 1.593.056 jiwa, tahun 1920 bertambah menjadi 2.049.547 jiwa, dan tahun 1930 meningkat menjadi 2.564.848 jiwa.

Surakarta suram. Kekuasaan Susuhunan peot, taring pengadilan pun dirampas pemerintah Hindia Belanda. Pejabat-pejabat Belanda berkembang biak. Keadaan semacam ini membuat Susuhunan masygul dan kecewa.

Pakubuwono X

Dalam tulisan-tulisan ilmiah, peranan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dalam gerakan nasional Indonesia kurang terungkap. Padahal, Yogyakarta melahirkan Budi Utomo (1908) sebagai partai politik yang benar-benar pertama di Indonesia. Awal 1912 di Surakarta muncul Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik massa yang juga pertama di Indonesia.

Walaupun SI dilahirkan di sebuah kerajaan Jawa, kemungkinan keterlibatan keraton dalam gerakan nasional seperti diabaikan. Bahkan beberapa sarjana menyebutkan, salah satu faktor utama perkembangan SI adalah adanya kejengkelan rakyat terhadap para bangsawan dan hukum keraton yang sudah kuno. Arsip di Negeri Belanda menjelaskan bahwa sebenarnya pihak keraton terlibat dalam gerakan itu.

Munculnya organisasi kebangsaan yang penting di kerajaan Jawa tak mengherankan. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa, perkembangan teknologi di kerajaan itu tampak terbelakang, tapi perkembangan kebudayaannya amat pesat. J.Th. Petrus Blumberger, penulis tentang gerakan nasionalis Indonesia yang paling perseptif, mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan itu merupakan tempat "jantung Jawa berdenyut". Penulis lain menyebutkan bahwa, terutama sekali di daerah kerajaan, rakyat menunggu-nunggu datangnya Heru Cokro, sang juru selamat, sebagaimana telah diramalkan oleh Raja Jayabaya. Kalangan elite Jawa tahu ini.

Kawula kerajaan, rakyat Jawa di daerah gubernemen (daerah Hindia Belanda), para pangeran, terutama Susuhunan, tetap dianggap sebagai poros. Setidak-tidaknya lambang semua kekuasaan di Jawa. Kendati terpecah-pecah, daerah kerajaan masih dipandang sebagai sisa kejayaan dan kesatuan Mataram. D.A. Rinkes, asisten penasihat urusan pribumi pemerintah Hindia Belanda, menyebut cita-cita munculnya Mataram kembali tidak pernah sirna. Itulah yang memacu gerakan Sarekat Islam (1912 dan 1913), dan selanjutnya mempengaruhi pemikiran para politisi keraton sampai akhir zaman penjajahan, bahkan juga sesudah masa itu.

Karena hak-hak dan statusnya dipereteli terus, para bangsawan politisi menerima gerakan nasionalis dengan simpati. Bila ada sikap amat hati-hati, itu agar mereka tidak ditangkap dan tak perlu berkubur di tempat pengasingan. Yang jelas, keraton-keraton Jawa berperan pada awal munculnya gerakan nasional di Indonesia, khusunya Keraton Surakarta dan Pakualaman.

Susuhunan Pakubuwono X di Surakarta merupakan tokoh sentral yang membingungkan. Bahkan mungkin kurang diperhitungkan oleh ke-13 orang residen dan gubernur Belanda yang ditempatkan di Surakarta sejak tahun 1893 hingga 1939. Kebanyakan orang Belanda menganggap Susuhunan lemah, tidak cakap serta patuh.

Memang Pakubuwono tidak memperlihatkan sikap keras, apalagi hidupnya mewah, doyan makan enak, senang mengenakan pakalan kebesaran dengan lencana dan bintang-bintang kehormatan. Belanda juga menganggapnya percaya pada takhayul sebagaimana kawulanya percaya bahwa ia punya kekuatan gaib guna menyembuhkan orang sakit, memiliki keris dan senjata yang serba sakti. Nyatanya, dalam perkembangan selanjutnya, gambaran Susuhunan berbeda.

Belanda sempat terkecoh oleh kesehatan Susuhunan. Raja yang lahir tahun 1867 itu, dalam usia 32 tahun, menderita batu ginjal dan tidak dapat membatasi kemauannya. Belanda sudah memperhitungkan usianya dan menyiapkan pengganti yang sesuai dengan politik Hindia Belanda. Tapi ternyata ia baru wafat setelah 72 tahun. Sejalan dengan usianya, sikap dan wataknya semakin tegas. Patihnya yang amat berkuasa diganti atas perintahnya, sehingga kekuasaannya meningkat.

Belanda menganggap ia kurang cakap dalam keuangan dan administrasi. Perhatiannya direbut upacara-upacara kebesaran dan politik. Selama masa takhtanya yang panjang itu, dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal dan 13 residen/gubernur secara silih berganti, ia mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil sebagai "teman" pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa di mata rakyat tetap kukuh. Jelas, ini kelihaian membawa diri.

"Loyatitasnya" kepada Hindia Belanda memang meragukan Kontrak politik yang ditandatanganinya ketika naik takhta sebagai Susuhunan di tahun 1893 mencantumkan syarat, ia di copot jika ingkar pada persetujuan itu. Dalam pada itu, ia pun sadar sebagai cucl Pakubuwono VI yang di tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon.

"Ia memang setia pada pemerintah Belanda. Tapi bahkan dalan tidurnya pun hidup naluri leluhurnya, naluri nenek-moyangnya naluri raja dan prajurit Timur," kata seorang gubernur.

Petunjuk bahwa Susuhunan mempunyai kecenderungan politi dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) padi atasannya. Secara teratur ia memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief - surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I Gelpke memperoleh kesan, Susuhunan bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia, termasuk orang-orang SI

Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Susuhunan kurang diperhitungkan Schneider merupakan salah seorang yang pertama-tama memperhitungkan pengaruh perjalanan Pakubuwono X ke luar daerah Walaupun perjalanan itu secara teoretis incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga (antara tahu 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan politik Pakubuwono X, yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Ia juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung.

Peranan Susuhunan sebagai imam bagi masyarakat muslim di Surakarta, dengan gelar Panatagama - sehingga dapat dimengerti hubungannya dengan SI - diperhitungkan Belanda. Penolakannya terhadap aktivitas misi-misi Kristen disebut-sebut sebagai fakto pesatnya perkembangan SI. Jika peranan Pakubuwono X itu dihubungkan dengan fajar nasionalisme di Asia dan semangat Pan Islamisme, Susuhunan tak boleh diremehkan.

Di Surakarta, misi Kristen sulit memperoleh tanah, sekalipun untuk mendirikan rumah sakit. Akhirnya, Belanda meminta kepada Mangkunegoro, dan mendirikan rumah sakit di Jebres Golongan Islam di Laweyan,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
KOBARAN API REVOLUSI PRANCIS
1989-07-15

Nukilan buku "citizens: a chronicle of the french revolution" karya simonschama. diterbitkan oleh alfred a.…

B
BENAZIR BHUTTO MENUTURKAN ...
1989-01-14

Nukilan buku "daughter of the east" karya benazir bhutto. london: hamish hamilton, 1988. benazir menuturkan…

K
KENANG, KENANGLAH RUNTUHNYA SYAH ...
1989-02-11

Nukilan buku 'the shah's last ride: the fate of an ally" menceritakan hari-hari terakhir syah…