Pemimpin Di Belakang Layar
Edisi: 27/19 / Tanggal : 1989-09-02 / Halaman : 43 / Rubrik : MEM / Penulis :
K.H. As'ad Syamsul Arifin, 91 tahun, kian uzur kian melangit. Karismanya di kalangan NU belum ada tandingannya. Kini ia mustasyar PB NU dan pengasuh pondok Salafiah Syafiiyah Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Telah 21 kali naik haji, total 14 tahun bermukim di Mekah. Pernah menjadi anggota Konstituante (1957-1959) dan menolak jabatan menteri agama yang disodorkan Bung Karno di zaman Nasakom. Sebagian kisah hidupnya di bawah ini dituturkan atas permintaan TEMPO, pada Mohammad Baharun. Ia menyampaikannya dalam bahasa Madura. Untuk hal penting, ia berbahasa Indonesia. Sering juga bercampur bahasa Arab.
SAYA hidup dan dibesarkan dalam tradisi agama dan adat yang kuat. Ayah saya, Haji Syamsul Arifin alias Haji Ibrahim. Nama lengkapnya Raden Kiai Haji Ibrahim bin Kiai Haji Ruham. Saya biasa memanggilnya Abah.
Abah dilahirkan di Kembang Kuning, Kabupaten Pamekasan, Madura. Kalender ketika itu menunjuk tahun 1841. Ayah Abah, berarti kakek saya, adalah seorang kiai di desa itu. Namanya Kiai Ruham bin Raden Bujuk Bagendan Sida Bulangan. Yang disebut terakhir ini masih ada hubungan darah dengan keluarga pihak wanita Sunan Ampel. Ibu abah saya juga keturunan bangsawan Madura, bernama Hajah Khadijah Nyai Pote. Karena garis keturunan semua masih bangsawan, keluarga kami boleh pakai gelar raden yang artinya adalah rais dien - pemuka agama. Tapi, seperti umumnya orang Madura, keluarga kami orang tani semua.
Pada usia muda, Abah pergi ke Mekah. Ia mukim di sana. Ibu saya, Hajah Maimunah, juga ikut tinggal di tanah suci itu. Mereka berdua bermukim di kampung yang namanya Syi'ib Ali. Keadaan Hejaz -- sebutan negeri Arab Saudi pada zaman dulu - tak seperti sekarang. Maklum, waktu itu belum banjir minyak. Dan kalau tak salah Hejaz masih dijajah dinasti Usmaniyah. Unta dan khimar (keledai) masih banyak terlihat di sahara. Transportasi sulit sekali. Begitu juga air -- kecuali sumber air zamzam yang terus mengalir berkat doa Nabi Ibrahim.
Di Mekah, pada tahun 1897 lahirlah saya. Saya diberi nama As'ad. Artinya "yang membahagiakan". Entah dua atau tiga tahun kemudian lahirlah adik saya, Abdurrahman. Jadi, saya dua bersaudara, keduanya lelaki. Di sana keluarga kami tak sendirian. Banyak juga perantau lainnya dari Pulau Madura. Konon, mereka pun sambang, bertandang, atas kelahiran saya. Tentu saya tak tahu persis nama-nama mereka, karena sayalah yang yang lahir.
Pada usia enam tahun saya pulang ke Tanah Air. Itu pertama kali saya melihat Tanah Air. Abah pulang kampung ke Kembang Kuning, Pamekasan, dan mendirikan pesantren kecil-kecilan. Kemudian saya diajak berkunjung ke kediaman Kiai Haji Cholil Bangkalan, Kiai Haji Hasyim Asy'ari Jombang dan para kiai lain. Itulah awal ta'aruf perkenalan -- saya dengan kiai-kiai yang menjadi guru dan teman abah. Tahapnya masih sekadar untuk mencari "berkah".
Beberapa tahun kemudian saya ke Mekah lagi, untuk belajar takhassus -- pelajaran khusus -- agama, pada beberapa guru terkenal. Ustad-ustad saya adalah Sheikh Hasan al-Massad untuk ilmu nahwu dan bahasa Arab; Sayyid Mohammad Amin Al-Quthby untuk tauhid dan fiqh; Sayyid Hasan Al-Yamani dalam hal bahasa Arab serta Sayyid Abbas Al-Maliky yang mendalami tasawuf. Meskipun tak terlalu lama belajar pada beliau, saya merasa banyak mendapatkan faedah besar. Itu karena berkah.
Biasanya saya belajar di Masjidil Haram. Di sana selalu ada tadris, pengajian, yang digelar lepas salat asar. Teman saya banyak. Baik dari berbagai negeri Arab lain, juga dari Indonesia. Antara lain adalah Kiai Haji Zainuddin dari Pancor, Lombok, Nusa Tenggara, yang kini menjadi pengasuh dan pendiri Pondok Nahdlatul Wathan. Juga Sheikh K.H. Prof. Yasin Al-Fadani.
Tahun 1924 saya pulang ke Tanah Air kedua kalinya. Tapi saya tak berhenti menuntut ilmu. Dan ilmu yang saya tuntut itu jangan sampean kira kayak sekolah formil sekarang ini. Waktu itu belajarnya dengan gaya khalaqah, yang sekarang setengah dipertahankan di pesantren-pesantren karena terbukti barokah-nya.
Saya belajar pada K.H. Cholil Bangkalan dan K.H. Hadratus Syeh Hasyim Asy'ari Jombang. Saya gali ilmu agama sedalam-dalamnya dan sebatas kemampuan saya menyerap. Bagi saya kecintaan seorang kiai atau ustad adalah segalanya. Saya juga sempat belajar di pondok Panji Buduran -- Sidoarjo, Pondok Tetango -- Sampang, Sidogiri -- Pasuruan. Tapi yang paling lama, di Pesantren Tebuireng, Jombang, dan Demangan, Bangkalan.
Kalau ente tanya siapa yang paling berpengaruh di antara guru-guru besar itu, wah, sulit bagi saya untuk membedakan. Semua berpengaruh di bidang masing-masing. Saya pun tak pernah membedakan ilmu satu dengan yang lainnya. Sebab, kait-mengait satu dengan lainnya. Tapi saya kira, dalam pendidikan dasar agama, saham guru saya di Mekah sangat berpengaruh. Di Tanah Air, dua guru besar saya -- K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Moh. Cholil -- cukup berpengaruh dalam pembinaan selanjutnya. Segala nasihat dan anjurannya semuanya saya taati meski kesemuanya itu sudah mendahului saya menghadap Allah subhanahu wata'ala.
Sebenarnya, saya bukan santri yang istimewa. Tapi saya merasa bersyukur karena dicintai para kiai. Saya belajar di pesantren beliau-beliau itu kendati tidak terlalu lama. Kadang setahun, kadang dua tahun, sampai merasa mantap dengan ilmu yang diberikannya. Kalau saya berpindah dari pesantren satu ke yang lain, itu juga atas kehendak beserta ridho orangtua dan para kiai saya. Pokoknya, dari pondoklah saya belajar hidup. Jangan melulu sampean anggap di pondok ketika itu tak ada pelajaran umum. Saya tahu baca tulis Latin justru dari pondok. Bukan dari sekolah umum.
Di pesantren, saya seperti santri yang lain. Pagi sekali bangun untuk salat subuh berjamaah di masjid pondoki Kemudian kerja bakti, sambil gerak badan. Entah itu bersih-bersih kamar sendiri, atau membersihkan halaman pondok dan tempat lain. Tapi pondoknya tidak seperti sekarang ini. Dewasa ini pondok termasuk mewah. Bangunannya bagus dan apik. Semuanya gedung, malah bertingkat. Dulu, rata-rata kamar pakai gedek, berdinding anyaman bambu dan daun rumbia. Tapi ya santrinya banyak jadi semua. Itulah barokah. Karena kadar keikhlasannya tinggi. Kiai kalau mengajar tembus pada santrinya.
Para kiai saya, di Mekah maupun di Tanah Air sini, mengajar dengan penuh kebapakan. Hampir tak ada yang dihukum, karena melakukan pelanggaran. Sebab, wibawa kiai yang luar biasa tak memberikan kesempatan santri berbuat yang tidak-tidak. Dan santri seperti diawasi selama 24 jam oleh kiai. Itulah hebatnya pendidikan di pondok, belum ada yang bisa menyaingi.
Saya dan teman-teman tanpa diperintah sudah tahu tugas kami dalam menekuni agama. Kitab-kitab seperti Sullam Safinah, Bidayatul Hidayah, Riyadlus Sholihin, dan Ihya' Ulumuddin merupakan santapan hari-hari. Kami tenggelam dengan beragam kitab kuning di pondok. Dan saya pikir, ada hikmahnya pindah-pindah pondok. Saya jadi banyak mengenal berbagai watak kiai, yang pantas untuk di-gugu dan ditiru. Memang kodisinya ketika itu memungkinkan, sebab pada dasarnya semua pengasuh pesantren di Bangkalan, Jombang, Sidoarjo, dan Pasuruan itu rerupakan kerabat Ayah atau Ibu.
Kalau ente tanya berapa puluh kitab yang saya pelajari di pondok ketika itu, sulit dijawab. Tapi yang saya ingat beberapa kitab populer di pesantren seperti saya sebutkan di atas. Saya kadang tidur sampai larut malam, untuk memahami dan untuk menghafal kitab-kitab standar itu. Terasa nikmat belajar di pondok. Kitab-kitab yang pernah saya pelajari itu serasa masih melekat dalam pikiran saya. Yang saya gemari kitab-kitab seperti Sullam Safinah (ini kitab fiqh) serta Ihya' Ulummuddin ini kapita selekta dienul Islam dan tasawuf - karya Imam Ghazali. Saya dalami dan alhamdulillah hayati kedua kitab itu di samping Bidayatul Hidayah (tafsir) .
Ayah saya termasuk streng. Saya juga disuruh belajar di pesantrennya sendiri - di sebuah dukuh kecil, yang kini bernama Sumberrejo, termasuk desa Sukorejo -- yang belakangan bernama Pondok Sukorejo. Tapi nama sebenarnya pesantren ini adalah Pondok Salafiah Syafiiyah. Artinya, mengikut ulama salaf (konservatif) dan bermazhab Syafii. Aliran pesantren ini memang ahlus sunnah wal jamaah.
Inilah pesantren pertama di Sukorejo. Daerah itu semula merupakan hutan lebat. Di dalamnya banyak binatang buas seperti ular dan macan tutul. Tapi Abah suka mengembara di sana. Sebab, kabarnya, pengembaraan itu mendapat restu gurunya. Dialah pembabat hutan Sukorejo. Sendirian saja. Ia tidur berbantalkan batu. Abah termasuk orang yang menghayati ilmu thoriqoh. Karena itu, ia tak takut gangguan binatang maupun makhluk halus.
Saya kemudian diajak ke situ. Tentu saja di hutan ini tak ada insan lain. Tapi ia berusaha membuka pondok, dalam bentuk yang sederhana. Santri berdatangan dari luar desa. Lalu berkembang, berkembang, dan berkembang sampailah dikenal.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…