BALADA SEORANG WANITA VIETNAM

Edisi: 30/19 / Tanggal : 1989-09-23 / Halaman : 43 / Rubrik : NB / Penulis :


Kisah perang Vietnam telah banyak mengalir dari pena analis politik serta mulut wartawan dan tentara Amerika. Tapi peperangan panjang yang dahsyat itu masih saja belum terasa lengkap terungkap. Baru inilah muncul pengakuan seorang wanita sipil, yang langsung terdera di dalamnya. Ia berusia 12 tahun ketika helikopter Amerika mendarat di dusunnya Ky La, Vietnam Tengah. Cuplikan ini diambil dari bukunya: When Heaven And hrth Changed Places -- Doubleday, 1989.

ANAK-ANAK sebayaku akhirnya harus berperang buat Vietkong. Seperti kau tahu, hanya sedikit orangtua yang menyetujui itu padahal mereka benci kaum Republik dan Amerika. Banyak orangtua -- termasuk orangtuaku -- mengharap agar anak mereka dikecualikan. Namun, jarang yang memperolehnya. Untunglah, aku anak perempuan bungsu -- abangku Bau San waktu itu berada di Saigon bekerja pada brigade konstruksi remaja. Karena ayahku di kampung tekun membangun lubang perlindungan dan terowongan buat Vietkong, abangku yang tertua Bon Nghe ke Hanoi dan aku siap menunjukkan loyalitas pada kesempatan lain -- termasuk pada kedatangan helikopter Amerika -- aku diizinkan tetap tinggal di rumah mengerjakan tugas lain.

Lewat upacara yang khidmat, aku ditempatkan pada pertahanan rahasia. Tugasku mengingatkan Vietkong tentang gerakan musuh di kampungku. Bila sebuah pertempuran usai, aku pun harus membantu perawat untuk membalut luka-luka dan melaporkan berapa musuh yang menjadi korban. Mengecewakan juga tidak dapat bergabung dengan kawan-kawanku di pertempuran. Tapi aku bangga mendapat tugas serupa yang dikerjakan abangku.

Tugas utamaku mengamati hutan belukar antara Ky La dan kampung tetangga. Seperti biasa, Ayah memainkan peran penting untuk menjaga keselamatan dan nyawaku. Dia berdiri di tanah yang tinggi di belakang rumah -- di situlah pertama kali ia menginstruksikan tugasku di Vietnam -- untuk meneruskan sinyalku pada Vietkong di ujung hutan. Jika tentara Republik atau Amerika masuk kampung, ia akan melepas topinya dan mengipasi dirinya sendiri tiga kali. Jika musuh mendekati kampung, ia mengipas dua kali. Jika pantai bersih dan tentara musuh di sekitarnya, ia mengipas seali. Sistem ini, menurut Ayah. telah digunakan oleh Vietminh dan sangat efektif.

Aku tinggal dekat kampung yang lebih aman, sementara orang dewasa -- ayahku -- diizinkan mengambil risiko lebih banyak untuk memberi sinyal. Jika sistem ini gagal dan ada Vietkong terbunuh, adalah Ayah bukannya aku, yang berikutnya akan tergolek di jalanan ke Danang. Jika terjadi sebaliknya, kaum Republik yang menangkap isyarat itu, ia pun akan dibunuh setelah disiksa. Buat sebagian besar bocah, perang masih merupakan permainan yang menarik. Tapi bagi ayahku itu pertaruhan hidup. Meskipun pandanganku masih kekanak-kanakan, aku mulai tahu betapa mengerikan peran Ayah.

Sewaktu perang di sekitar Ky La berkepanjangan, Vietkong memberlakukan tugas reguler kepada penduduk. Seminggu lamanya keluargaku harus menyediakan ransum. Tetapi Vietkong tak pernah minta sesuatu yang khusus. Mereka juga menolak makanan itu jika menyulitkan kami. Minggu berikutnya, tugas kami mungkin menjahit pakaian; memperbaiki seragam atau membuat yang baru -- kadang dari kain parasut para penerjun yang tertangkap atau dari bangkai pesawat Amerika yang rontok.

Para gadis muda didorong bersahabat dengan kaum Republik, agar bisa mencuri pasta gigi, rokok, atau keperluan lain di hutan. Untuk meyakinkan bahwa persahabatan palsu itu tak berkembang menjadi sungguh-sungguh, dalam pertemuan tengah malam kami diingatkan soal perbedaan antara tentara kemerdekaan dengan kaum Republik dan tentara Amerika.

"Imperialis dan anjingnya itu," kata ketua kader, dengan muncratan ludah sambil mengacungkan kepalan ke udara, "punya pesawat, bom, artileri berjangkauan jauh, dan orang 10 banding satu dengan kita. Kita hanya punya pakaian kumal dan senapan, serta suplai yang kita panggul di punggung. Orang-orang Republik dan Amerika datang ke kampungmu, mereka menginjak-injak tanamanmu, membakar rumahmu, dan membunuh keluargamu hanya untuk mendapatkan jalan. Kami menghargai rumahmu, menyucikan para leluhurmu, dan hanya membunuh mereka yang berkhianat pada kami. Presiden Diem memberimu penyerbu asing sewaktu Ho Chi Minh menjanjikanmu sebuah Vietnam yang bebas. Kaum Republik bertempur buat upah, seperti tentara bayaran, sedang kami bertempur untuk kebebasanmu."

Walau benci pada bahaya perang, kami tak dapat membantah ucapan ketua. Dari sekian orang Amerika yang menyisih memberi jalan, lebih banyak yang mengganggu kami bak sapi. Sejumlah kaum Republik lembut menghadapi anak-anak dan saudara kami, tapi yang lain bertingkah kayak bajak laut. Kalau terasa aman, kami berdemonstrasi, berjalan dari satu kampung ke kampung yang lain, mengibarkan bendera Vietkong dan meneriakkan slogan-slogan. Kami menyumpahi kaum Republik sebagai "anjing" dan mengatakan yang terbaik bagi orang Amerika adalah enyah dari negeri kami. Dalam sebuah demonstrasi, pada malam yang gerah, seorang pelarian Vietkong mengabarkan orang Republik akan membombardir. Setiap orang lari ke parit di sisi jalan, sedang Vietkong malah menghilang ke dalam hutan.

Mula-mula meriam berdentam di kejauhan, menyusul ledakan di sekitar kami. Pengeboman berlangsung beberapa jam. Aku tiarap sendirian di tempat persembunyian sambil mulai mengkhawatirkan keluargaku. Kalau-kalau rumahku dan rumah orangtuaku ikut menjadi bagian bola api yang membubung tinggi itu. Tak ada kekuatan untuk berlari pulang.

Setelah ledakan berhenti, aku berbaring lurus. Kepalaku kusandarkan ke luar parit. Bau udara malam tak mengenakkan seperti karet terbakar. Sempalan pohon dan batu pun berserakan di jalanan. Dari arah Ky La, sepasukan besar kaum Republik datang, menariki penduduk dari parit. Adalah melanggar hukum tinggal di luaran setelah gelap -- walaupun di kampungmu sendiri. Jauh dari wilayahmu, berarti menyatakan diri sebagai Vietkong.

Aku mencoba memutuskan mesti berhuat apa. Yang terlintas di otakku adalah dua tetangga kami dua perempuan bersaudara Tram dan Phat, dua orang kakaknya pergi ke Hanoi sementara yang ketiga tinggal di Kyla. Yang di Ky La ditangkap dan disiksa oleh orang Republik karena "berhubungan dengan Utara." Ketika dibebaskan, yang pertama mencium selamat tinggal keluarganya, lalu menyayat pergelangan tangan. Saudara perempuannya marah, mengapa mereka menjadi pendukung Vietkong.

Ketika orang Republik hendak menangkap mereka, dua wanita itu lari ke lubang perlindungan keluarga. Tentara pun masuk ke sana. Waktu merangkak ke dalam tempat perlindungan, mereka melihat gadis itu duduk bersama -- berusaha setenang mungkin, masing-masing dengan granat di tangan tanpa pen. Tanganmereka yang mungil menutup katup pengamannya, dan siap melepaskannya.

Tentara tak menembak, khawatir granat itu meledak. Mereka buru-buru keluar. Gadis itu melepaskan granatnya sembarangan dan tewas bersama tiga musuhnya. Hari berikutnya, ibunya memakamkan apa yang tersisa dari kedua gadis itu di samping anak lelakinya, lalu pergi ke ladang. Orang-orang Republik membuntutinya dan menembaknya dari balik pematang.

Aku tak punya senjata, amat mudah bagi tentara untuk menembakku, atau menyabetkan laras senapan dan menusukkannya ke dadaku. Aku tak ingin ibuku mati karena kepahlawanan atau nasib burukku. "Jika kau terlalu pintar atau terlalu bebal, kau akan mati -- maka berlakulah bodoh", kata Ibu, "tak terlalu sulit bagi gadis ingusan untuk membiarkan dirinya ditangkap. Beraksilah seperti tak tahu apa-apa karena muda dan bodoh. Itu buat semua pihak, tak soal siapa pun yang bertanya. Berlakulah bodoh, goblok."

Ketika akhirnya tentara menyeretku dari parit, komat-kamit dibalut debu, mereka menyangka aku terguncang oleh ledakan. Mereka tidak menanyai, memukul, atau menembakku di tempat seperti yang dilakukan pada orang lain. Melainkan mengikat tanganku di belakang dan mendorongku ke truk bersama orangorang lainnya untuk dibawa ke penjara terdekat.

Dari truk kami digiring ke sebuah ruang kosong, diminta tenang menunggu. Lalu satu per satu dibaa oleh penjaga ke ruangan lain untuk diinterogasi. Sudah lima atau enam yang dibawa, tak ada yang kembali. Karena tak mendengar suara tembakan, aku menyangka mereka dibebaskan.

Giliranku tiba. Pengawal menggiringku lewat sebuah koridor ke sebuah sel tanpa jendela dengan sebuah bohlam di langit-langit. Seorang tentara Vietnam yang muda dengan pangkat berstrip-strip menyuruhku berjongkok di tengah lantai. Ia mengajukan beberapa pertanyaan sederhana seperti: "Siapa namamu? Dari mana engkau? Siapa saja keluargamu?" Dan yang terpenting "apa yang kau lakukan tengah malam begitu jauh dari rumah?"

Aku jawab setiap pertanyaan seperti seorang gadis kecil yang ketakutan, yang -- menurut ibuku -- tak akan mempersulit. Kubilang aku gentayangan jauh dari rumah karena mengikuti suara yang mirip pesta keramaian. Orang-orang yang berbaris itu bilang bahwa kami akan ke jalan melihat sebuah permainan. Kukatakan aku selalu mendapat masalah seperti itu lalu mohon agar jangan bercerita pada orangtuaku. Sebab, Ayah pasti akan mencambukku, Ibu juga.

Pukulan tentara itu menghentikan dongengku, aku pun pingsan. Berikutnya rambutku direnutkan dan wajahku dihadapkan ke lampu. Interogator bertanya lagi, dengan suara lebih kasar, apa yang kulakukan jauh dari kampung. Sambil terisak-isak, kujawab lagi bahwa aku mendengar sebuah parade dan mengikutinya untuk menyaksikan permainan. Aku tak bermaksud mencelakakan siapa pun. Aku hanya ingin melihat permainan dan bersenang-senang ....

Pengawal di belakang menarik rambutku dan aku berteriak. Dia menendang punggungku satu, dua, tiga kali dengan sepatu boot berat. Sekarang aku menjerit sekeras-kerasnya sungguh-sungguh -- tapi dia tetap menendangku beberapa kali sampai terjuntai. Kulit kepala dan punggungku disundut api. Setiap kali aku mencoba bangkit, tentara itu menendang kakiku dari bawah sehingga semakin tegak semakin nyeri rasanya. Akhirnya, aku terpincang-pincang, pengawal itu menggeletakkanku di lantai.

Interogator meneriakkan pertanyaannya lagi, tapi aku hanya menjerit histeris. Ia memukul beberapa kali lagi, lalu menyeretku ke luar dengan tangan terikat. Pengawal membawaku ke sebuah ruang besar yang disekat-sekat dengan dinding bambu menjadi puluhan kerangkeng. Sempit hingga tak memungkinkan berdiri tegak atau merentang tubuh. Mereka mendorong masuk lalu mengunci pintu.

Beberapa lamanya aku terisak-isak di lantai kerangkeng. Air mataku meleleh ke wajah. Punggungku terasa berdenyut-denyut. Dengan tangan tetap terikat di belakang, aku berguling tegak pada jeruji. Bau ruangan serupa got. Sewaktu kutajamkan mata, kulihat sebuah saluran tunggal di bagian tengah yang dipakai buat toilet kerangkeng. Selintas kulihat para demonstran kendati tak seorang pun dari kampungku. Mereka menggondol oleh-oleh interogasi: pelupuk mata ungu, kepala benjol, mulut dan hidung berdarah, gigi tanggal. Seperti sel interogasi, ruangan kumuh diterangi cahaya bohlam yang tak berkedap-kedip.

Aku mulai merasa sangat nyeri di punggung dan saluran air seni. Taut celana dalam basah, aku menarik celanaku tanpa malu-malu. Kulihat cairan kemerahan berbusa mengucur deras. Aku hampir pingsan. Aku tak pernah melihat darah di air…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
KOBARAN API REVOLUSI PRANCIS
1989-07-15

Nukilan buku "citizens: a chronicle of the french revolution" karya simonschama. diterbitkan oleh alfred a.…

B
BENAZIR BHUTTO MENUTURKAN ...
1989-01-14

Nukilan buku "daughter of the east" karya benazir bhutto. london: hamish hamilton, 1988. benazir menuturkan…

K
KENANG, KENANGLAH RUNTUHNYA SYAH ...
1989-02-11

Nukilan buku 'the shah's last ride: the fate of an ally" menceritakan hari-hari terakhir syah…