"juru Peta" Sastra Indonesia

Edisi: 31/19 / Tanggal : 1989-09-30 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis :


DI samping mendapat julukan "Paus" Sastra Indonesia, Hans Bague Jassin juga dipanggil administrator dan diktator sastra. Ia pernah memukul Chairil Anwar. Dihukum 1 tahun penjara gara-gara cerpen Langit Makin Mendung. Inilah orang yang telah menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia. Lahir di Gorontalo, 31 Juli 191 7, mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia, juru peta sastra Indonesia yang tak pernah lelah. Sebagian kisah hidupnya yang disampaikan lewat Leila S. Chudori ini adalah atas permintaan TEMPO.

TANGGAL 2 September 1970. Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Pusat penuh sesak. Ada wartawan, seniman, ulama, mahasiswa, pelajar. Semua memandang saya. Hakim Ketua Anton Abdurrachman Putra, S.H. mengangkat mukanya dan bertanya, "Saudara Jassin, kapan Anda siap membacakan pembelaan Anda?"

"Sekarang." Suara saya meluncur, tegas dan pasti. Hari itu juga saya memang mantap membacakan pembelaan cerpen Langit Makin Mendung karangan Ki Panji Kusmin. Sudah saya siapkan sejak keributan meletus di Medan, sepanjang 100 halaman, setelah cerpen yang dimuat di majalah Sastra itu beredar.

Saya berdiri sambil membaca. Saya lihat Hamka, saksi yang memberatkan, mendengarkan dengan saksama. Ruang pengadilan begitu hening. Seluruh ruangan hanya terisi oleh suara saya yang bergelombang dan penuh keharuan. Saya amat yakin bahwa dunia imajinasi dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Dan hingga kini, saya tetap percaya bahwa imajinasi tak layak diadili dan disetarakan dengan dalil agama yang punya sejarahnya sendiri. Hampir tiga jam saya membacakan pleodoi bagi imajinasi pengarang yang hingga kini belum pernah saya lihat batang hidungnya itu.

"Apakah kita harus memaksa seniman mendiamkan hati nuraninya, membutakan matanya, menulikan telinganya, mematikan perasaannya, dan melumpuhkan pikirannya buat hal-hal yang terjadi di sekitarnya?" tanya saya dalam pembelaan itu.

Akhirnya hakim menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun bagi saya. Tapi hingga kini saya tak sempat mengalami pengapnya empat tembok mati itu.

Saijah dan Adinda

Jika saya tengok ke belakang dan mengenangperistiwa demi peristiwa satu per satu, rasanya saya sedang membuka dokumen kehidupan. Lihatlah itu, si Jassin kecil yang sedang bermain-main di pekarangan di suatu sore pada 1924. Kala itu saya baru tujuh tahun. Kami berdua, Ibu dan saya, tinggal di Gorontalo. Kata Ibu, Ayah sedang bekerja di Balikpapan. Tapi kemudian saya ketahui bahwa mereka sedang berpisah untuk sementara.

Tiba-tiba seorang tuan berdiri tegak di pekarangan. Ia mengenakan helm dan melangkah menghampiri saya. Dipeluknya tubuh saya. Saya memberontak minta dilepaskan. Ternyata, tuan itu adalah ayah saya. Rupanya, Ayah dan Ibu memutuskan untuk rujuk.

Hari-hari bersama Ayah kembali adalah hari penuh disiplin. Sebagai anak tunggal saat itu kakak perempuan saya, Hapsah, meninggal di Sangihe -- saya diharapkan Ayah berhasil dalam pendidikan. Ayah saya sendiri seorang otodidak. Bacaannya sangat luas, dari fiksi hingga ilmu bumi dan alam.

Meski ia bekerja di BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) antara 1902 dan 1905, ia tidak memiliki ijazah HIS (Hollandsch Inlandsche School). Tapi karena bacaannya yang luar biasa, ia mampu ujian dan lulus Klein Ambtenaar Examen (ujian persamaan HIS). Mungkin karena itulah Ayah lebih menyukai saya belajar atau membaca buku daripada bermain. Ayah benar-benar mengondisikan saya untuk terus-menerus akrab dengan bacaan. Tak jarang ia minta saya membacakan koran-koran berbahasa Belanda ketika ia beristirahat makan siang. Selain koran Belanda, Ayah juga berlangganan Suara PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), majalah dari partai yang didirikan oleh dr. Soetomo. Itu sebetulnya terlarang bagi seorang kerani BPM yang baik.

Lemari buku Ayah selalu saya buka. Saya lalap, termasuk yang terlarang. Bayangkan, Roos van Batavia dan Melati van Agam sudah saya baca, padahal itu bukan bacaan anak-anak. Karya sastrawan Prancis, Eugene Sue, yang diterjemahkan dalam bahasa Belanda jadi De Verborgenheiden van Parijs (Rahasia-Rahasia Kota Paris) saya lahap pula. Ada lagi empat serial buku Sexuele Zeden in Woord en Beeld (Tingkah laku seksual dalam Kata dan Gambar) yang diam-diam saya nikmati pula ....

Karena di kota saya tidak ada HIS, Ayah menyuruh saya berguru pada seorang istri kerani, teman Ayah. Dan ketika HIS didirikan di Gorontalo pada 1926, saya langsung masuk kelas 2. Kegemaran saya membaca buku kemudian ditunjang oleh fasilitas 2 macam perpustakaan: perpustakaan untuk anak-anak dan untuk umum. Dari perpustakaan umum sering pula saya meminjam buku untuk Ayah.

Pelajaran bahasa di sekolah itulah yang kemudian memperluas perhatian saya pada sastra. Ketika itu anak-anak HIS diwajibkan menghafal sajak-sajak Belanda dan membacakannya di muka kelas. Terkadang kami diperintahkan bercerita dalam bahasa Belanda. Maksudnya agar bisa bersentuhan langsung dengan bahasa tersebut tanpa terlalu dipagari tata bahasa.

Kami juga belajar bahasa Melayu. Buku bacaan bahasa Melayu kami yang pertama adalah Rempah-Rempah. Melalui bacaan ini saya masuk ke dalam dunia binatang yang mampu berkomunikasi. Baru kemudian, ketika saya sudah kuliah di Fakultas Sastra, saya ketahui bahwa cerita-cerita itu diambil dari Hitopadesya, buku sastra anak-anak yang sangat terkenal dan tersebar di banyak negara di dunia. Buku lain yang melekat dalam diri saya ketika anak-anak ialah karya klasik Melayu tulisan Arab, Hikayat si Miskin.

Ketika saya duduk di kelas 4 HIS, saya berkenalan dengan sebuah cerita yang di kemudian hari terus-menerus meringkus perhatian saya: Saijah dan Adinda. Kepala sekolah membacakannya di muka kelas dengan mimik dan intonasi yang sesuai dengan tuntutan cerita.

Saijah dan Adinda merupakan bagian dari roman besar Max Havelaar, sebuah roman serius karya pengarang Belanda, Multatuli. Saat itu kami belum dapat menangkap seluruh keindahan karya dalam bahasa Belanda itu. Tapi saya sudah dapat merasakan kesedihan yang diungkapkannya. Seingat saya, di situlah saya jatuh cinta pada buku-buku sastra.

Ketika suatu kali saya jatuh sakit, Ayah bertanya apa yang saya inginkan sebagai oleh-oleh. "Buku," jawab saya serta-merta. Ia tersenyum dan pulang membawakan buku-buku penuh gambar. Meski saya sedang sakit, betapa bahagianya saya membaca buku-buku itu.

Ketika di HIS itu pula saya belajar menulis. Kami sering dibawa piknik oleh guru-guru, dan pulangnya diwajibkan menulis tentang perjalanan itu. Tulisan yang dianggap baik dibacakan di muka kelas. Dan, ah, si Jassin kecil ketika itu dikenal sebagai voorlezen, si tukang baca cerita yang baik. Bayangkan, waktu itu saya baru kelas 4 HIS. Saya digandeng untuk membacakan cerita di muka anak kelas 5.

Saat itu saya juga mencoba-coba menulis puisi. Lahirnya puisi ini karena kekaguman saya pada seorang gadis manis bernama Mastinah. Ia bersuara merdu dan pandai mengaji. Saya tidak mengenalnya, hanya melihat fotonya di album. Ada perasaan untuk berkomunikasi dengannya. Tapi saya tak tahu alamatnya. Maka, lahirlah puisi itu. Bayangkan, ketika itu saya baru berusia 12 tahun. Tapi celaka. Ayah mencurigai saya. Saya sangat takut dan malu. Ketika itu saya tengah berlayar. Maka, cepat-cepat saya buang sajak itu ke laut. Waduh, sayang sekali ....

Sekitar tahun 1933, saya mulai menginjak HBS Medan. Pengetahuan dan kecintaan saya terhadap sastra mulai menukik. Saya berkenalan dengan kesusastraan Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Saya harus membaca sekitar 24 buku sastra Belanda, dan untuk bahasa lainnya masing-masing delapan buku. Saya menelaah buku-buku itu dengan intens, dari persoalan plot hingga karakterisasinya. Inilah perjumpaan awal saya dengan pelajaran evaluasi karya sastra secara akademis.

Helai pertama dokumen kehidupan saya di HBS melontarkan saya pada kenangan seorang guru sastra Belanda, Korpershoek. Seorang yang gagah, menarik, dan bersuara bagus. Dialah yang memperkenalkan saya pada pendekatan kritik sastra dan cara mendalami karya-karya klasik. Dia pula yang memperkenalkan saya pada De Tachtigers Beweging, Gerakan 80-an di Belanda.

Begitu kagum saya pada pengetahuan sastranya, hingga saya ingin membagi kesenangan saya dengannya. Saat itu, saya sudah menikmati majalah sastra Pujangga Baru. Nama-nama Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane menumbuhkan kekaguman saya karena karya-karya mereka yang tak kalah dengan sastra Belanda. Maka, dengan penuh semangat, saya tunjukkan majalah itu kepadanya.

"Tuan, kami juga memiliki Tachtiger Beweging di Indonesia." Tapi si tuan hanya melirik dengan ekor matanya. Aduh, sakit hati saya dengan sikap guru yang saya kagumi itu. Rasa nasionalisme saya terpukul. Saya sangat mencintai tanah air dan bahasa saya. Kenapa ia tak menghargai karya sastra Indonesia? Sejak itulah saya bertekad bekerja penuh bagi sastra Indonesia. Rupanya, kekecewaan terhadap Korpershoek ada hikmahnya, menumbuhkan tekad pada diri saya.

Lembaran dokumen kehidupan saya selanjutnya adalah surat-surat Leila. Ah, mengingat Medan artinya mengingat Leila. Seorang gadis Tapanuli yang besar di Solok. Seorang gadis yang bertutur lembut dan penuh perhatian. Seorang yang memiliki senyum yang tetap mengikuti saya hingga ke Gorontalo.

Saya bertemu dengan Leila di perkumpulan pemuda Inheemse Jeugd Organisatie. Saya sekretaris perkumpulan itu, sedangkan Leila anggotanya. Mulanya biasa saja. Di pertemuan-pertemuan itu, kami sering berbincang. Meski perhatian Leila tumpah pada saya, saya belum menyadari arti Leila hingga saya ke Gorontalo.

Hubungan kami lebih banyak melalui surat-menyurat. Surat-surat itu saya kirim dari Jakarta, karena pada 19 itu saya sudah pindah ke Jakarta, sementara Leila mengirimkan balasannya…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…