MOHAMMAD NATSIR : POLITIK MELALUI JALUR DAKWAH

Edisi: 40/19 / Tanggal : 1989-12-02 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis :


DELAPAN puluh satu tahun yang lalu, saya dilahirkan dari pasangan suami istri Idris Sutan Saripado-Khadijah. Tepatnya pada 17 Juli 1908, di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Saya dibesarkan dari sebuah keluarga muslim yang taat. Ayah saya, seorang juru tulis konteler, banyak mendorong saya agar mendalami agama. Kebetulan, rumah saya juga dekat dengan masjid. Demikianlah sejak kecil makanan saya sehari-hari mengaji. Sejak di Hollands Inlands School (HIS) saya sudah ngaji di surau. Menginjak kelas II, saya tinggal di rumah seorang saudagar, Haji Musa namanya, di Solok. Selepas magrib, malam hari saya mengaji. Mencari guru, tempat saya untuk berdialog. Kebetulan, waktu itu ada guru ngaji tamatan sekolah di Sumatera Thawalib.

Dorongan untuk belajar agama dari orangtua begitu kuat. Pagi saya sekolah umum, sore masuk sekolah agama (madrasah diniyah), dengan belajar bahasa Arab, dan malam hari mengaji. Di situ, guru-gurunya sangat aktif berdakwah. Melihat saya bersungguh-sungguh, guru itu tertarik. Lalu, saya diberikan pelajaran ekstra. Lama-lama, saya bisa ngaji kitab kuning, sementara teman-teman lain belum bisa membacanya.

Waktu itu, seorang meester in de rechten adalah seorang yang luar biasa. Jadi, cita-cita saya, ya, menjadi Mr. yang sekarang disebut sarjana hukum. Sampai di MULO, semuanya saya lalui dengan nilai baik. Malah dapat biasiswa dua puluh rupiah sebulan. Bisa beli buku dan keperluan lain. Padahal, saya sekolah sambil cari kayu bakar, memasak, membuat sambal, dan mencuci pakaian sendiri. Masih sempat pula ikut pandu Natipij (Nationale Islamitische Padvindrij) dari organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB). Hingga akhirnya lolos masuk AMS di Bandung, juga dengan mendapatkan beasiswa sebesar tiga puluh rupiah sebulan. Di Bandung itulah saya berubah. Ternyata, yang bagus itu tak cuma meester.

Di AMS (A II), bahasa Belanda saya tidak fasih. Saya sering diejek. Soalnya, waktu sekolah di Padang pakai bahasa Indonesia. Sedangkan di Bandung, saya ketemu anak-anak dari Jawa yang bahasa Belandanya jauh lebih tinggi. Jadi, saya kebingungan juga. Makanya, saya belajar sungguh-sungguh. Saya dapat angka tinggi untuk bahasa Latin yang begitu sulit.

Di Bandung, sejak kelas I, saya tetap belajar agama. Dengan tanpa mengurangi ketekunan belajar di sekolah. Malah saya sempat jadi anggota perpustakaan museum -- bayar tiga rupiah sebulan. Jadi, saya selalu dikirimi buku-buku baru dari perpustakaan itu. Membaca jadi tabiat saya waktu di Bandung.

Ada tiga guru yang mempengaruhi alam pikiran saya. Pertama, Tuan Hassan -- pimpinan Persis (Persatuan Islam) Bandung -- lalu Haji Agus Salim, dan Syech Akhmad Syoerkati -- pendiri Al Irsyad itu. Kalau ke rumah tuan Hassan, saya selalu menanyakan suatu persoalan. Lalu diskusi. Dari situ, saya dikasih buku-buku. Seperti buku Tafsir Al-Furqon, atau tafsir The Holy Quran karya Muhammad Ali. Saya juga aktif di JIB cabang Bandung. Di situ saya belajar politik, mengetahui bagaimana perjuangan kita, mengenal Prawoto Mangkusasmito, Haji Agus Salim, dan lain-lain. Budi Utomo yang berdiri pada 1908, PSI (Partai Syarikat Islam -- sebelum akhirnya menjadi PSII) dan Muhammadiyah pada 1912, saya ikuti. Saya mulai terlibat dalam gerakan Islam di bidang politik.

Tamat AMS, sebetulnya saya dapat biasiswa untuk kuliah di fakultas hukum, tapi saya memilih tidak melanjutkan kuliah. Saya lebih tertarik melihat persoalan-persoalan masyarakat, persoalan politik. Jadi politik oposisi sebagai orang jajahan itu sangat terasa. Persoalan masyarakat yang saya hadapi lebih menarik. Dan saya merasa berdosa kalau itu saya tinggalkan. Waktu saya mengambil keputusan untuk tidak kuliah itu banyak juga yang terkejut. Tuan Hassan sendiri, yang dekat dengan saya, kaget.

Tinggal bagaimana menjelaskan kepada orangtua. Waktu saya pakansi terakhir setamat AMS, saya temui Ibu dan Bapak. Saya katakan terus-terang bahwa saya tak tertarik lagi jadi meester. Saya mau terjun mendirikan sekolah saja. Takut juga saya kalau-kalau orangtua, kecil hatinya. Ternyata mereka tertarik juga dengan gagasan saya. Umi, ibu saya, setuju. Bapak saya juga setuju. Jadi, itu saya anggap -- waktu itu -- sebagai karunia Ilahi. Sebab, kalau beliau-beliau mengerenyut, ya, saya merasa salah juga kan.

Saya mulai mengajar di sebuah sekolah MULO. Salah satu muridnya ialah Dahlan Djambek itu -- yang belakangan terlibat PRRI. Saya mengajar karena terdorong untuk mengajarkan agama. Tidak dikasih gaji apa-apa. Saya juga ngajar di kursus pegawai kereta api. Bentuk pengajarannya sistem diskusi. Ketika saya lihat sekolah-sekolah kita sama sekali kosong dari pengajaran agama, saya berniat membentuk pendidikan modern yang sejalan dengan pendidikan agama.

Kemudian saya dirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis). Dengan gaya Muhammadiyah, tidak begitu beda. Cuma, kami lebih praktis. Misalnya, waktu itu, kami memelopori melakukan salat Jumat di sekolah. Juga mengajarkan kesenian untuk menghaluskan perasaan. Islam kan tidak melarang kesenian. Termasuk tonil. Saya yang mengajar main biola. Tapi, ya, tidak gila-gilaan.

Yang mengajar punya motivasi perjuangan. Seperti Ir. Indracahya, mahasiswa THS (Technische Hooge School, yang belakangan menjadi ITB), dan Umi NurNahar yang tadinya mengajar di sekolah swasta. Saya kenal Umi itu di JIB. Tadinya kenal begitu saja, belakangan jadi istri saya....

Berat juga itu bergelut di dunia pendidikan. Beberapa kali Umi mencopot gelangnya untuk digadaikan, demi eksistensi Pendis. Sampai sekarang, gelang itu masih disimpan baik-baik.

Suatu ketika, kami dapat sehektare tanah dari seorang kaya. Tanah itu kami manfaatkan untuk mengajar anak-anak berpraktek bagaimana bercocok tanam. Mereka memang tidak akan tinggi ilmunya, tapi mereka dibawa terjun ke masyarakat, biar tahu bagaimana petani bekerja. Biar tahu bagaimana sulitnya petani menumbuhkan suatu barang yang bisa dijual ke pasar. Biar tahu berapa harganya. Itu kan persoalan hidup. Jadi, bukan dibaca di buku, tapi dibaca di masyarakat.

Anehnya, setelah siswa-siswa itu tamat, mereka pun mengembangkan pendidikan Pendis semacam itu di berbagai daerah. Hingga Pendis berkembang di Bogor, Cirebon, Tanjungpriok, dan bahkan sampai di Banjarmasin. Mereka juga tidak mau bekerja pada pemerintah, tapi memilih terjun ke masyarakat saja. Doktrinnya begitu? Tidak didoktrinkan. Hanya dibawa ke arah berpikir demikian. Itu namanya dakwah bil hal.

Saya tertarik pada pidato Bung Karno. Tapi tidak setuju 100 persen. Lalu saya menanggapinya dengan menulis. Bung Karno kan suka mengejek-ejek Islam, dulu. Lalu pada 1930 saya diminta Pak Sabirin, ketua PSI cabang Bandung, masuk jadi anggota -- sebelum organisasi Islam ini berubah menjadi PSII. Sejak itu saya berkecimpung dalam politik. Apalagi saya lihat, waktu itu, PNI begitu kuat. Makanya, saya perlu memperkuat diri di PSI. Tapi tekanan saya, waktu itu, masih mengarah pada penulisan di majalah bulanan Pembela Islam yang tersebar ke seluruh Indonesia. Ke pesantren-pesantren dan dibaca oleh para ulama. Oplahnya mencapai 2.000 eksemplar. Untuk oplah majalah bulanan, pada waktu itu, ya, sudah banyak.

Ketika Jepang datang, saya sempat bekerja di Bandoeng Siicho, menjadi pegawai pemerintah daerah Jepang, bagian Pendidikan dan Pengajaran. Lalu Jepang merasa perlu merangkul Islam. Maka dibentuklah MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) yang belakangan diberi nama Masyumi yang semula bukan merupakan organisasi politik.

Menjelang kemerdekaan, saya ikut PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), tapi tidak begitu aktif. Yah, itu kan urusannya orang-orang besar. Saya ketika itu kan masih muda. Tapi saya sudah bolak-balik Jakarta-Bandung, karena saya jadi sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI)…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…