TIGA WANITA YANG DIGILAS REVOLUSI

Edisi: 19/18 / Tanggal : 1988-07-09 / Halaman : 49 / Rubrik : NB / Penulis :


Buku ini adalah sebuah contoh, di balik sebuah peristiwa besar selalu ada cerita-cerita, yang bukan sekadar data dan fakta, dari warga negara yang namanya tak bakal dicatat sejarah. Ibu Yang, Ibu Ma, dan Ibu Xiao adalah tiga wanita Guiyang yang digencet Revolusi Kebudayaan di RRC, di zaman Mao. Liang Heng, penulis buku Anak Revolusi -- kisah awal-awal Revolusi Kebudayaan, pernah dikutip di rubrik ini juga -- mewawancarai mereka, kemudian menuliskannya menjadi sebuah buku. Heng menyusun buku itu bersama istrinya, Judith Shapiro, seorang wanita Amerika.

SAAT itu, akhir Februari, menjelang tanggal 15 Imlek. Seluruh Kota Guiyang dihias indah dengan lampion-lampion kertas. Ada yang kecil sebesar buah labu. Ada yang besar dan rumit sebesar sapi -- kebetulan tahun itu memang tahun kerbau. Ratusan macam bentuk berhubungan dengan tema itu, dari pasangan tanduk asli sampai balon-balon berbentuk kerbau bergantungan dl mana-mana. Ada juga yang berbentuk pesawat terbang atau roket, sesuai dengan tema Empat Modernisasi.

Malamnya lampion-lampion itu dinyalakan. Penduduk kota bermunculan dan berjalan hilir mudik memandangi lampu-lampu itu sambil membaca tulisan-tulisan yang pada bergantungan, dan memberi komentar secara kritis. Peristiwa itu merupakan aneka peragaan kreativitas, dan untuk pertama kalinya perayaan itu diadakan setelah kegersangan budaya selama bertahun-tahun.

Pasar bebas Guiyang merupakan satu-satunya daerah tujuan semua warga kota pergi berduyun-duyun. Di pasar itu, orang dapat membeli sepotong kain di satu kios, dan pergi ke kios berikutnya buat mengukur dan menjahitkannya menjadi celana. Di kios lain, orang dapat memilih hak-hak sepatu dengan segala ukuran tingginya, dan memasangkannya pada sepatu sendiri di klos sebelahnya.

Warung-warung makanan ringan tak terhitung jumlahnya. Tak terkecuali pedagang racun tikus, jamu, dan tukang-tukang ramal buta yang dapat mengintip nasib. Tapi barang yang paling rnerangsang dari semua itu adalah sekarton fetucine dari Italia, dengan merk dagangnya yang hanya bisa didapatkan di Toko Zabar, New York.

Di Guiyang, Judy dan saya tidak punya kawan ataupun sanak saudara. Tapi tak sulit bagi kami untuk mendapat kenalan baru. Tidak sampai satu jam, kami sudah ngomong-ngomong dengan orang-orang dari Jiangxi, Hunan, Shandong, dan Anhui. Di antara mereka ada yang telah mukim di sana selama 50 tahun. Ada pula yang baru 20 tahun. Dari semua teman baru kami di Guiyang ada tiga orang yang benar-benar meninggalkan kesan. Ketiganya wanita.

Kami berjumpa dengan wanita pertama tak lama setelah tiba. Kami sedang mencari semangkuk mi, karena Judy sudah lama menjadi vegetarian (tak makan daging). Di Cina, sangat sukar mencari makanan untuk orang-orang semacam dia. Buat orang Cina hanya lemak dan daging babi yang membuat makanan jadi lezat. Persoalannya jadi bertambah sulit, karena orang Cina yakin bahwa orang asing hidup dalam gaya yang lebih hebat dari mereka. Berkali-kali Judy memesan makanan khusus, dan tukang masaknya mengangguk-angguk tanda mengerti selera pemesannya. Tapi hasilnya selalu mengecewakan. Setiap kali kami memesan makanan selalu muncul makanan dengan daging.

Setelah beberapa kali gagal, kami pergi ke sebuah warung mi reyot yang terletak di tepi jalan. Kedai itu rupanya banyak dikunjungi para petani setelah hari pasar. Di pintu, saya berusaha menjelaskan apa yang diminta kepada seorang pemuda yang duduk di muka sebuah meja kecil.

Ketika saya mengulangi pesanan untuk ketiga kalinya, terdengarlah suara berwibawa seorang wanita. "Ada kesulitan apa?" tanyanya. Pemuda itu menjawab sambil berteriak, "Ada orang Amerika yang ingin makan mi sayur. Tidak pakai daging, tidak pakai vetsin, tidak pakai lemak babi. Tidak pakai segalanya."

Terdengarlah kemudian suara dengan nada terkejut, "Orang Amerika? Tak ada masalah, dan gampang." Muncullah seorang wanita setengah baya berpakaian kerja katun biru dan memakai pelindung tangan berpola kembang. Kemudian ia mengeringkan tangannya dengan celemek putih panjang ia rupanya mengerti soal yang kami hadapi, lalu mempersilakan kami duduk, dan menjamin dapat membuat pesanan itu. Ketika ia berjalan kembali ke dapur, kami dengar wanita itu menggumam sendiri, "Aih, ketika kau masih muda bukankah kau pernah membuat beberapa mangkuk mi untuk orang Amerika?"

Judy menatap keheranan. Tak lama kemudian terhidang dua mangkuk mi putih dengan bau jahe dan kembang kol ditambah semerbak minyak wijen yang murni dan harum. Wanita itu mengatur makanan di muka kami dan tanpa kami minta mencuci dua pasang sumpit dengan air panas. Kemudian ia menarik bangku kecil dan duduk di sebelah mengawasi kami. Sikapnya seolah-olah menganggap kami teman akrab yang datang berkunjung dari jauh.

Ketika ia mengobrol dengan kami, saya mengawasinya lebih cermat. Ketika masih muda, ia pasti sangat cantik dengan mata yang besar. Saya hampir tak percaya ketika ia mengatakan usianya lebih dari 60 tahun. Memang, wajahnya penuh kerutan, tapi itu malah membuatnya indah sehingga kulitnya tampak mulus. Rambutnya masih hitam sedangkan punggungnya masih lurus dan kuat. Keramahannya bertambah ketika saya katakan kepadanya saya berasal dari Changsha. "Orang sekampung," katanya, "dan kawin dengan orang Amerika."

Waktu kami mengobrol, sering ia melihat dengan cepat ke sekeliling seakan-akan ketakutan campur waspada, kalau-kalau ada orang lain yang menguping. Itu dilakukan oleh banyak orang sejak Revolusi Kebudayaan. Pelanggan yang masih tinggal ternyata hanya beberapa orang petani yang menghirup keras-keras sisa mi mereka. Kemudian kami tahu ternyata kedai itu miliknya.

Ibu Yang, demikianlah namanya, bicara dengan penuh semangat tentang hal-hal yang dikatakannya sebagai kebaikan orang Amerika. Ia mengaku orang yang paling tahu bagaimana sesungguhnya orang Amerika. Pemuda sekarang, katanya, mula-mula dididik membenci orang Amerika, kemudian dengan tiba-tiba diajari menghargai hasil kebendaan yang mereka capai. Mereka mengagumi dunia Barat tanpa pengertian yang sesungguhnya. "Saya mengalami masa perang," katanya. "Ketika pasukan Nasionalis hampir lumpuh, orang Amerikalah yang membantu kami tetap hidup. Aku makan di rumah mereka, atau kadang-kadang mereka yang berkunjung. Dan saya membuatkan mi untuk mereka." Ia…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
KOBARAN API REVOLUSI PRANCIS
1989-07-15

Nukilan buku "citizens: a chronicle of the french revolution" karya simonschama. diterbitkan oleh alfred a.…

B
BENAZIR BHUTTO MENUTURKAN ...
1989-01-14

Nukilan buku "daughter of the east" karya benazir bhutto. london: hamish hamilton, 1988. benazir menuturkan…

K
KENANG, KENANGLAH RUNTUHNYA SYAH ...
1989-02-11

Nukilan buku 'the shah's last ride: the fate of an ally" menceritakan hari-hari terakhir syah…