MUSIK, TEATER, DAN POLITIK BUDAYA KOLONIAL PADA MASA RAFFLES DI JAWA 1811-1816

Edisi: 09/23 / Tanggal : 1993-05-01 / Halaman : 07 / Rubrik : KAL / Penulis : RADEN, FRANKI


Periode Pra-Raffles, 1619-1810 Abad ke-19 merupakan awal sejarah baru masyarakat kolonial Eropa di Jawa, yang 200 tahun sebelumnya telah mengalami beberapa kali perubahan. Ketika Kota Jakarta ditaklukkan oleh VOC di tahun 1619, masyarakat Eropa yang menjadi penduduk kota ini berasal dari Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Portugis, Skotlandia, Denmark, Norwegia, dan lain-lain. Mereka ini umumnya tentara yang disewa oleh VOC. Di antara mereka ada juga pedagang, pegawai, ahli perkapalan, tukang kayu, pendeta, guru sekolah, perajin, dan seniman (Taylor 1983: 11). Karena sedikitnya wanita Eropa yang datang ke Batavia, para imigran tersebut mengambil wanita-wanita pribumi menjadi gundik mereka.

Dari perkawinan ini lahirlah kelompok etnis yang disebut Eurasia atau Indo. Sementara itu, di kota ini juga hidup orang- orang Cina dan Jepang yang berstatus warga negara bebas, yang memiliki budak berasal dari India dan bangsa pribumi. Kelompok- kelompok masyarakat ini yang kemudian menjadi penduduk resmi Batavia waktu itu. Dari sini berkembang sebuah bentuk kehidupan budaya yang dikenal dengan nama mestizo, campuran antara kebudayaan Eropa dan Asia. Contoh yang nyata dari gaya hidup mereka, misalnya, bepergian dengan mengenakan pakaian Eropa bersama para budak yang membawa barang-barang, seperti payung (status simbol orang Asia), kipas, perlengkapan kotak sirih, tempolong, dan buku himne jika mereka pergi ke gereja. Mereka yang berasal dari lapisan masyarakat kelas atas ini umumnya tinggal di rumah mewah di daerah pinggiran, dan memiliki sejumlah budak yang bisa menghibur mereka dengan bermain musik dan menari. Abad ke-18 kebudayaan mestizo telah mencapai bentuknya yang mapan. Masyarakat ini semakin terisolasi dari Eropa dan menjadi sosok masyarakat yang mandiri. Tahun 1799, akhirnya, VOC bangkrut karena utang yang menumpuk. Batavia kemudian ditangani langsung oleh sebuah dewan yang bernama The Council of Asiatic Possession yang berdomisili di Den Haag.

Pada saat yang sama revolusi Perancis juga telah menyebabkan terjadinya beberapa perubahan kehidupan politik di Eropa. Ketika Napoleon berhasil menundukkan Belanda, tahun 1806, ia mengirimkan orang kepercayaannya ke Batavia untuk menjadi gubernur jenderal. Orang tersebut adalah Daendels. Daendels menganggap dirinya seorang pembaharu. Ia membuat perubahan- perubahan yang drastis di Batavia. Di antaranya adalah menggusur benteng-benteng tua, memindahkan pusat kota Batavia ke daerah suburban di sebelah selatan (Jakarta Pusat), mendirikan Harmonie (yang kini menjadi sebuah jalan), dan istana yang baru. Menurut Taylor, tindakan Daendels ini merupakan simbol dari berakhirnya era VOC yang bercirikan sistem monopoli dan perbudakan. Daendels menginginkan struktur hubungan feodal masyarakat mestizo, yang diwarnai dengan upeti- upeti, berubah.

Upaya seperti itu sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa gubernur jenderal yang terdahulu, tapi dampaknya tidak besar. Van Imhoff, yang berkuasa pada pertengahan abad ke-18 misalnya, mencoba menegakkan budaya murni Eropa dengan mendirikan seminari, akademi, dan menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda yang hanya dimengerti oleh kalangan kelas atas. Gubernur jenderal yang berikutnya, Jacob Mossels, juga mencoba meneruskan usaha Van Imhoff dengan mengeluarkan peraturan- peraturan, misalnya mengizinkan penggunaan alat-alat musik seperti terompet, timpani, dan drum pada musik pengiring makan malam hanya untuk pejabat-pejabat tinggi pemerintahan. Pada masa itu Jacob Mossels juga mendirikan sebuah organisasi yang memberikan sponsor secara rutin kepada acara konser dan pertunjukan teater.

Pada akhir abad ke-18 mereka yang berniat menegakkan kebudayaan Eropa murni agaknya semakin banyak. Perkumpulan-perkumpulan dan gedung-gedung eksklusif Free-Masonary bermunculan di Batavia dan Semarang. Reynier de Klerk, yang menjadi gubernur jenderal pada tahun 1777-1780, juga mendirikan beberapa sekolah privat dan akademi untuk para wanita. Pada masa inilah (1778) J.C.M. Radermacher, anak seorang keluarga terkemuka Belanda, mendirikan sebuah lembaga keilmuan pertama di Asia yang diberi nama Bataviasch Genootschap der Kunsten an Wetenschappen (Institut Seni dan Ilmu Batavia). Anggota lembaga ini terdiri dari 103 orang masyarakat Batavia dan 77 orang dari India, Afrika, dan negeri Belanda sendiri. Salah satu aktivitas lembaga tersebut adalah menerbitkan jurnal tahunan yang berisi artikel dari bermacam-macam disiplin ilmu dan humaniora. Pada jurnal volume yang ketujuh diterbitkan sebuah artikel tentang musik, yang secara panjang lebar membicarakan masalah-masalah musikologi, seperti sejarah, teori, dan komposisi (lihat Bataviasch Genootschap der Kunsten an Wetenschappen, 1792).

Dari data yang tersedia agaknya bisa disimpulkan bahwa kehidupan musik Eropa di lingkungan masyarakat kolonial pada akhir abad ke-18 ini sudah cukup mapan. Sebuah surat yang ditulis oleh Von Wurmb, sekretaris Institut Seni dan Ilmu Batavia, menceritakan bagaimana semaraknya aktivitas kehidupan musik di koloni pada waktu itu. Ditambah dengan munculnya tulisan musik di jurnal tadi, hal ini menunjukkan bagaimana pentingnya musik bagi kehidupan masyarakat kolonial di Jawa. Gejala ini juga masih tampak pada tahun-tahun pertama kedatangan Daendels (1800) di koloni ini. Sebuah surat kabar bernama Bataviasche Koloniale Courant (BKC) terbit pertama kali pada tahun 1810 melaporkan adanya penyelenggaraan konser secara rutin di Batavia pada masa itu (lihat BKC 1811). Munculnya konser-konser sebagai peristiwa publik pada era sebelumnya masih merupakan peristiwa non-publik menandakan bahwa situasi kehidupan musik klasik di koloni ini sejalan dengan yang terjadi di Eropa (lihat Dahlhaus, 1989). Gejala ini tiba-tiba lenyap dari permukaan berita ketika Inggris datang menaklukkan Daendels pada tahun 1811.

Periode Raffles, 1811-1816
Selama perang Inggris-Belanda pada akhir abad ke-18, angkatan laut Inggris menjadi ancaman yang serius bagi kapal-kapal Belanda di Indonesia. Pada tahun 1800 armada Inggris berhasil mengepung Batavia meskipun tidak berhasil mendarat. Sebelas tahun kemudian, di bawah komando Lord Minto dan deputinya, Thomas Stamford Raffles, Inggris akhirnya berhasil menaklukkan Jawa, dan Raffles diangkat sebagai gubernur jenderal.

Orang Inggris yang datang ke Jawa ini berbeda dengan orang- orang Belanda yang ketika itu sudah menghuni pulau Jawa selama 200 tahun. Mereka ini, menurut Taylor, adalah para pejabat sipil dan orang terpelajar yang mewakili kerajaan Inggris pada saat negara itu sedang mengalami kejayaan (Taylor 1983:96). Di samping itu orang-orang Inggris ini juga memiliki ambisi sebagai pembaharu. Mereka mewarisi identitas kelas penguasa dari tradisi kerajaan Inggris dan sangat percaya akan superioritas kebudayaan Barat. Tingkah laku mereka mengacu pada nilai-nilai mapan priayi Eropa abad ke-18. Sementara itu, seperti sudah disinggung, kehidupan pusat-pusat urban di Jawa pada masa itu didominasi oleh kebudayaan mestizo. Karena itulah orang-orang Inggris mengalami culture shock ketika melihat tingkah-laku sehari-hari masyarakat kolonial. Dalam konteks tersebut mereka kemudian bertekad mengubah kebudayaan mestizo secara radikal.

Langkah pertama pemerintahan Raffles pada saat itu adalah membangun lembaga-lembaga sosial yang dapat berfungsi sebagai penyalur ideologi budaya mereka. Misalnya, menerbitkan koran mingguan di Batavia yang bernama Java Government Gazette (JGG) pada tahun 1812. Melalui surat kabar ini para penguasa Inggris mencoba menyebarkan kebudayaan asli Eropa dengan cara memuat artikel, berita, iklan buku dan barang dari Eropa, kolom untuk puisi, dan esei tentang budaya, pendidikan, dan moralitas yang berhubungan dengan itu (lihat JGG 1812-1816). Melalui surat kabar ini diketahui bahwa Inggris juga mendirikan beberapa organisasi masyarakat yang berfungsi membudayakan masyarakat kolonial melalui pergaulan sosial. Caranya dengan membuat norma-norma, seperti melarang para wanita mengenakan kebaya (yang merupakan pakaian tipikal wanita mestizo), mengunyah tembakau, duduk di lantai, makan dengan tangan, dan berdansa tanpa sepatu pada saat berpesta (Taylor 1983: 100).

Pendek kata, Raffles berusaha mengubah gaya hidup masyarakat Indies di koloni ini dengan mengembangkan tata-cara masyarakat Eropa dalam semua aspek kehidupan. Slogan seperti Beauty, Music and Wine pada masa itu sangat populer. Pesta-pesta makan malam menjadi wadah untuk "membudayakan" masyarakat Indies. Dalam pesta-pesta inilah orang-orang Inggris memperkenalkan tingkah- laku sosial masyarakat Eropa asli, misalnya saja tidak memisahkan para wanita dengan suaminya yang menjadi kebiasaan kebudayaan mestizo. Acara-acara pesta juga merupakan kesempatan bagi mereka untuk memakai pakaian yang indah-indah, dan mendengarkan pembacaan puisi…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
MUSIK, TEATER, DAN POLITIK BUDAYA KOLONIAL PADA MASA RAFFLES DI JAWA 1811-1816
1993-05-01

Franki raden, peneliti musik, mengetengahkan perkembangan seni, musik, teater, budaya politik kolonial di kota-kota besar…

F
FILM DI INDONESIA: ANTARA PERTUMBUHAN DAN KECEMASAN
1993-05-01

Tanggapan garin nugroho, sutradara film, tentang gejala perfilman indonesia selama 20 tahun terakhir. ia tak…

D
DUA ZAMAN, DUA POLITIK KEBUDAYAAN: PENGANTAR UNTUK DUA TULISAN
1993-05-01

Dua tulisan, masing-masing membahas soal pelbagai peristiwa seni di kota-kota di jawa pada awal abad…