Dua Zaman, Dua Politik Kebudayaan: Pengantar Untuk Dua Tulisan
Edisi: 09/23 / Tanggal : 1993-05-01 / Halaman : 3 / Rubrik : KAL / Penulis :
DUA tulisan yang kami ketengahkan kali ini berkisah tentang dua zaman. Yang pertama, dari Franki Raden, seorang peneliti musik, memaparkan pelbagai peristiwa seni di kota-kota besar di Jawa pada zaman penjajahan singkat Inggris, awal abad ke-19. Yang kedua, dari Garin Nugroho, seorang sutradara film, menanggapi gejala-gejala di bidang perfilman kita paling tidak selama 20 tahun terakhir. Keduanya mencoba mengungkai pokok soal yang sama, yakni hubungan antara seni dan kekuasaan. Dua zaman yang berbeda agaknya menuntut cara pendekatan yang berbeda. Tapi lebih dari itu, juga menuntut sikap yang berbeda. Baik Franki maupun Garin telah melancarkan kritik, bahkan kemarahan meskipun dengan nada halus.
Seni sering dipahami (hanya) sebagai penciptaan. Seorang seniman menggali inspirasi, menemukan isi, dan menuangkannya dalam bentuk. Pengalaman demikian seakan berjarak dari ruang sosial. Tetapi seni, sebagai hasil, hanya dapat diberi makna bersama publiknya. Dengan kata lain, tak ada seni tanpa publik. Dan pada gilirannya, jika publik itu telah mencapai jumlah yang signifikan, keindahan seni akan memperlihatkan sisinya yang lain. Sisi itu adalah sisi etis. Moralitas, kita tahu, amat sering diperkarakan oleh kekuasaan. Dan kekuasaan dalam arti nyata adalah himpunan pelbagai "teknik" untuk mengelola kehidupan publik. Dalam hal ini, kekuasaan menempatkan diri sebagai penjaga kesehatan moral publik. Untuk apa? Setiap kekuasaan agaknya senantiasa mematokkan sebuah tujuan, sebuah cita-cita, sebuah hasil. Gangguan terhadap moralitas publik adalah gangguan terhadap kestabilan: gangguan terhadap cita-cita itu. Dan agar publik percaya dan terpesona kepadanya, kekuasaan juga memerlukan penampilan. Dalam kata-kata Clifford Geertz, mechanics of power memerlukan poetics of power. Demikianlah kita memahami mengapa politik kebudayaan diselenggarakan. Demikianlah kita tahu mengapa negara mendukung seni yang ini dan mengabaikan seni yang itu, membolehkan yang ini dan menghambat yang itu, membentuk undang-undang untuk seni yang ini dan membengkalaikan seni yang itu, dan seterusnya.
***
KETIKA Inggris mewarisi Hindia Timur dari Belanda pada 1811, kebudayaan mestizo telah begitu mapan di pusat-pusat urban di Jawa. Pada mulanya kebudayaan mestizo, kebudayaan Erasia, muncul dengan sangat alamiah. Kaum kulit putih mengawini kaum kulit berwarna: dan kebiasaan kulit putih mengadaptasi kebiasaan kulit berwarna, juga sebaliknya. Selama kurang lebih 200 tahun di lapisan atas masyarakat kolonial tumbuh kebudayaan campuran, kebudayaan mestizo, yang jadi mapan pada abad 18. Kebudayaan ini ganjil: ia seakan mewakili…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
MUSIK, TEATER, DAN POLITIK BUDAYA KOLONIAL PADA MASA RAFFLES DI JAWA 1811-1816
1993-05-01Franki raden, peneliti musik, mengetengahkan perkembangan seni, musik, teater, budaya politik kolonial di kota-kota besar…
FILM DI INDONESIA: ANTARA PERTUMBUHAN DAN KECEMASAN
1993-05-01Tanggapan garin nugroho, sutradara film, tentang gejala perfilman indonesia selama 20 tahun terakhir. ia tak…
DUA ZAMAN, DUA POLITIK KEBUDAYAAN: PENGANTAR UNTUK DUA TULISAN
1993-05-01Dua tulisan, masing-masing membahas soal pelbagai peristiwa seni di kota-kota di jawa pada awal abad…