Film Di Indonesia: Antara Pertumbuhan Dan Kecemasan

Edisi: 09/23 / Tanggal : 1993-05-01 / Halaman : 22 / Rubrik : KAL / Penulis : NUGROHO, GARIN


1
LAHIR sebagai seni yang terakhir, film tumbuh dengan mencangkokkan ke dalam dirinya penemuan-penemuan yang telah maupun yang tengah terjadi, baik sains, teknologi, maupun estetika.

Dalam aspek teknologi, misalnya, ia lahir menyertai tuntutan agar fotografi berusaha menangkap kehidupan sehari-hari tidak lagi dalam gambar yang membeku. Kemudian ia tumbuh pesat, karena berhasil menghimpun teknologi perekaman suara -- yang hari ini sudah mencapai dolby. Sejarah film, biarpun rentang waktu pertumbuhannya kurang dari seabad, kata kriktikus film James Monaco, cukup memamerkan struktur perkembangan rumit yang dipadatkan. Film dipahami sejumlah besar manusia, disebabkan kemajuan teknologinya yang bersifat geometris.

Dalam aspek estetika, kemampuannya untuk mengambil-alih penemuan dalam seni-seni yang lain, mengangkat nasibnya: dari pertunjukan yang awalnya dituding para pengamat sebagai sesuatu yang kampungan dan rendah, menjadi sejajar dengan seni-seni lainnya. Misalnya contoh-contoh di Jerman ini. Pada tahun 1928, para perupa ikut menumbuhkan film ekspresionis. Lalu tahun 1940, kaum dadais nyemplung pula di film. Bahkan kemudian unsur-unsur dari film ekpresionis maupun dadais dicangkokkan oleh industri film dalam film horor maupun fantasi, khususnya dalam menciptakan dekor.

Sejarah film dunia memang mulai dengan kejutan, yakni ketika film pertama kali diputar untuk umum, tahun 1895: saat di layar muncul gambar kereta api memasuki stasiun, penonton lari ke luar dari gedung bioskop mengira kereta api hadir nyata di gedung bioskop. Film cerita pertama The Birth of A Nation (1915) selain disambut dengan pujian, juga dihantam sebagai menyebarkan rasisme. Adegan ciuman John Rice dan May Irwin, sekalipun hanya sekelumit, dalam The Kiss (1916), telah menyulut kemarahan gereja.

Demikianlah, proses kreatif dan lembaga produksi-distribusi hingga pengawasan film selalu akan menghadapi pelbagai tantangan yang tumbuh kompleks dalam wujud pasangan-pasangan nilai yang bersitegang sekaligus berpasangan. Yakni, antara kebebasan mengungkapkan pendapat dan ketertiban, antara nasionalisme dan globalisme, antara keluwesan dan keketatan, antara pembaharuan dan kemapanan, antara ekonomi dan etika, dan pasangan nilai lain yang terus bertumbuh dengan berbagai roman muka seiring perubahan sosial masyarakatnya. Maka, apakah sebuah adegan akan disensor atau tidak, sebenarnya bukanlah bersandar semata-mata pada alasan etis.

Sebutlah contoh film Basic Instinct, yang menyulut debat tentang batas usia dan jenis bioskop yang boleh memutar. Toh film itu akhirnya diputar di bioskop umum. Dan itu berarti membantu pertumbuhan infrastruktur ekonomi film. Demikian juga dengan film Batman Returns, yang tak lepas dari kritik tentang kekerasan dan sisi gelapnya yang dianggap tak pantas bagi penonton anak-anak. Meski, justru sisi inilah yang menghidupkan kembali Batman dalam psikologi penonton dewasa ini yang terus tumbuh dalam dunia yang semakin penuh kekerasan. Sudah barang tentu film memuat sistem nilai tertentu, juga dampak yang ukurannya dikembalikan kepada manusia. Itulah agaknya yang menyita banyak perhatian dalam khasanah perfilman Indonesia. Belum hapus dari ingatan kita, kasus film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) yang memenuhi berbagai media massa.

Tahun 1991, Dewan Kesenian Jakarta meminta Badan Sensor Film untuk membebas-sensorkan film-film yang diputar untuk Kine Klub -- sebuah lembaga yang dibentuk oleh Dewan Kesenian Jakarta yang kegiatannya terutama memutar film untuk penonton terbatas. Hal ini sejalan dengan permintaan Duta Besar Swedia agar film-film karya Ingmar Bergman yang di putar di Kine Klub jangan digunting sensor. Ternyata, tiga film Ingmar Bergman terpaksa tidak bisa diputar. Salah satunya adalah mahakaryanya yang berjudul Fanny and Alexander. Kasus paling akhir yang menarik adalah protes terhadap beberapa film di televisi, seperti film cerita panjang yang cukup termashyur berjudul Sophie's Choice. Beberapa organisasi Islam melayangkan protes keras: menganggap film itu sebagai propaganda Yahudi (baca Pikiran Rakyat, 29 Agustus 1992).

Pertumbuhan film memang bergantung pada kemampuannya untuk menyadari terus-menerus hakikat dirinya sebagai media cangkokan. Ia mestilah mencangkok dua hal sekaligus: pelbagai penemuan di bidang sains, teknologi, dan estetika di satu pihak, dan determinan-determinan sosial, politik, budaya, di pihak lain. Dan itu sebenarnya cara bagaimana film melakukan tarik menarik dengan tuntutan zamannya.

2
"Pembuatan film cerita adalah suatu industri, itu tak dapat dimungkiri," demikian Usmar Ismail pernah mengungkapkan. Sukses perfilman Amerika sekarang yang menguasai hampir 85 persen pasar dunia tak bisa dilepaskan dari kelahiran Hollywood, yang didirikan seperti layaknya sebuah industri. Kini, jangan heran, film sebagai budaya pop (ditambah musik dan satuan acara televisi) menjadi komoditi ekspor terbesar Amerika yang hanya bisa ditandingi oleh industri militer dan pesawat ruang angkasa.

Kalau catatan ini lebih banyak membuat perbandingan melalui perfilman Amerika, itu dilakukan karena Amerika adalah "arsitek" perfilman dunia. Pertumbuhan film di berbagai belahan bumi selalu berwajah dua dengan cermin utamanya Hollywood. Hollywood bukan saja menjajah dan mempengaruhi perfilman nasional, tapi juga menciptakan atmosfer yang melahirkan sinema alternatif -- misalnya Gelombang Baru Perancis dan Sinema Jerman Baru.

Meski seluruh penafsiran tentang budaya bersifat relatif, yang penting dalam arus lintas budaya dewasa ini adalah bagaimana mencari logika yang menghubungkan pertumbuhan suatu budaya tertentu dengan pertumbuhan budaya yang lain. Dalam konteks demikian, bagaimana perfilman Indonesia mencoba menanggapi ekspansi yang dilakukan Hollywood?

Fenomena sukses film Amerika harus diakui tak bisa dilepaskan dari gaya hidup Amerika yang terpaket menjadi budaya pop dunia. Dalam rangka memperkuat pasar, Hollywood selalu mengejar yang baru dengan merajut ulang tradisi serta gaya hidup lama. Artinya, makna barang dan pengalaman terus didefinisikan kembali. Proses daur ulang terjadi. Sukses komersial film mutakhir Hollywood seperti Batman, Hook, Patriot Games, Beauty and The Beast, mencerminkan bagaimana para pembuat film menggarap generasi penonton masa kini (generasi kedua?). Yakni, generasi yang dilahirkan dari generasi film Hollywood pada periode keemasan pertamanya, dari awal tahun…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
MUSIK, TEATER, DAN POLITIK BUDAYA KOLONIAL PADA MASA RAFFLES DI JAWA 1811-1816
1993-05-01

Franki raden, peneliti musik, mengetengahkan perkembangan seni, musik, teater, budaya politik kolonial di kota-kota besar…

F
FILM DI INDONESIA: ANTARA PERTUMBUHAN DAN KECEMASAN
1993-05-01

Tanggapan garin nugroho, sutradara film, tentang gejala perfilman indonesia selama 20 tahun terakhir. ia tak…

D
DUA ZAMAN, DUA POLITIK KEBUDAYAAN: PENGANTAR UNTUK DUA TULISAN
1993-05-01

Dua tulisan, masing-masing membahas soal pelbagai peristiwa seni di kota-kota di jawa pada awal abad…