B.m. Diah: Wartawan, Menteri, Pengusaha
Edisi: 07/23 / Tanggal : 1993-04-17 / Halaman : 43 / Rubrik : MEM / Penulis :
Pendiri harian Merdeka ini pekan lalu genap 76 tahun. Dialah salah seorang wartawan tiga zaman yang sukses, satu-satunya wartawan Indonesia yang pernah mewawancarai Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev. Belakangan ia menjadi bahan berita karena persengketaan dalam keluarga. Burhanudin Muhamad Diah menceritakan perjalanan kariernya kepada wartawan TEMPO Sri Pudyastuti R.
HIDUP ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Sejak kecil saya terbiasa dengan pekerjaan-pekerjaan keras dan kasar, seperti membersihkan sepeda, mengambil air, atau mencuci pakaian kotor keponakan-keponakan saya. Pagi-pagi saya naik sepeda ke pasar untuk membeli sarapan buat keluarga. Kalau tidak sekolah, saya berbelanja ke pasar.
Seusai bekerja dan pulang sekolah, saya sering tidur-tiduran di lantai dan memandangi dinding rumah. Dinding itu dilapisi kertas koran. Pada salah satu koran, Halilintar namanya, terdapat sebuah sajak yang tidak pernah saya lupakan sampai sekarang. Bunyinya begini:
Wahai kaum proletar
Hidup sendiri tentu telantar
Bersatulah kamu bodoh dan pintar
Musuhmu takut, tulangnya gemetar
Kalimat itu betul-betul saya baca setiap hari, sehingga saya hafal dengan sendirinya. Saya tidak tahu bahwa ini sajak orang kiri. Entah apa yang berkecamuk dalam pikiran saya waktu itu. Mungkin inilah pengalaman saya yang pertama membaca koran. Tapi sejak itu saya gemar membaca koran, mengamati karikatur, yang tentu saja memihak Belanda, di majalah De Stuw.
MOHAMAD YATIM DAN NASIONALISME
Saya lahir di Kotaraja, sekarang namanya Banda Aceh, Aceh, tanggal 7 April 1917. Ayah saya, Mohamad Diah, menikah dua kali. Ibu saya, Siti Sa'idah, adalah istri pertama, yang dikaruniai delapan anak, dan saya lahir sebagai anak bungsu. Dari istri kedua, ayah mepunyai dua anak.
Ayah mula-mula bekerja sebagai pegawai pabean (klerk boom) di Aceh Barat, kemudian pindah dan menetap di Kotaraja dan menjadi penerjemah. Tak lama sesudah itu ia ganti pekerjaan lagi, jualan sepeda. Menurut cerita saudara-saudara saya, toko milik ayah itu lumayan besar. Selain itu ayah juga mengelola bioskop.
Menurut saudara dan sepupu saya, ayah cukup kaya pada waktu itu. Di foto lama, saya lihat kakak-kakak saya memakai gelang emas pada kaki dan lengan, yang besarnya berbongkah-bongkah. Mereka memeluk mainan yang sering dimainkan anak-anak orang kaya kala itu. Pakaian mereka pun dibuat dari kain yang mahal, seperti sutera Cina dan brokat.
Rumah kami yang besar di Jalan Merduwati di Banda Aceh itu menunjukkan bahwa ayah orang ternama. Di rumah itu kami dibesarkan sampai beliau wafat. Sayangnya, di zaman dulu orang tidak bisa menyimpan uang, sehingga waktu saya lahir, keluarga saya sudah jatuh miskin. Kami hidup serba kekurangan.
Umur saya baru seminggu ketika ayah meninggal. Sejak itu ibu saya, yang selalu memakai kerudung hitam, suka makan sirih, dan gemar memakai wewangian khas Aceh, mengambil alih tugas keluarga. Ia berdagang emas berlian dan pakaian, yang dibawanya ke daerah-daerah, menawarkannya kepada istri-istri hulubalang (orang besar Aceh). Setiap kali pergi, Ibu selalu mengajak saya.
Ketika usia saya empat tahun, saya dirawat adik ibu saya di kota kecil, Krungpanjo namanya. Di desa itu saya belajar menunggang kerbau dan membajak. Dalam pergaulan sehari-hari, saya menggunakan bahasa Aceh. Saya tidak bisa berbahasa Melayu. Setelah usia saya enam tahun, abang saya, Awaludin, menyekolahkan saya di HIS (Hollands Inlandse School) di Kotaraja.
Ibu meninggal ketika usia saya delapan tahun. Saya pun menjadi yatim piatu. Selanjutnya saya diasuh Awaludin dan istrinya, kemudian berpindah tangan ke kakak perempuan saya yang sudah berkeluarga, Siti Hafsyah. Sejak itulah hidup saya rasakan tidak mudah.
Saya senang bisa bersekolah. Sekolah saya ini melewati Sungai Aceh yang besar dan deras airnya. Sepulang dari sembahyang Jumat di Mesjid Raya, saya dan kawan-kawan sekolah sering berenang di situ. Dengan bertelanjang bulat kami melompat dari jembatan. Kami tidak takut, meskipun kadang-kadang di kali itu muncul buaya besar.
Jika kakak saya mengetahui saya main di hari Jumat, ia siap menghajar saya dengan kayu bakar sebesar lengan. Menurut dia, pantang bermain seusai sembahyang Jumat, karena bisa disambar setan. Jadi, begitu melihat saya, dia akan memburu saya sampai ke luar gang. Tapi saya selalu bisa lolos dari kejaran. Walau demikian saya sayang kepada saudara perempuan saya ini.
Perasaan nasionalisme saya timbul sejak saya sekolah. Saya ingat, ketika itu guru sejarah, Suwadji namanya, bercerita tentang lika-liku kepahlawanan Pangeran Diponegoro. Begitu menyentuh kisah yang diungkapkannya, saya sampai menangis di kelas. Padahal waktu itu saya belum mengenal Pulau Jawa. Hati nurani saya berkata, Pangeran Diponegoro adalah pahlawan kemerdekaan rakyat Indonesia juga. Usia saya masih sembilan tahun, kelas tiga. Tapi di kepala saya sudah tergambar figur seorang hero, pahlawan. Ini saya anggap perasaan nasionalisme. Kalau tidak, kenapa saya mesti menangis.
Sejak itu saya merasa, orang Jawa atau bukan, dia adalah bangsa saya. Suwadji ini sayang pada saya karena kebetulan dia kawan baik abang saya, Awaludin. Waktu abang saya meninggal, Suwadji mengeluarkan semua uang dari dompetnya dan diberikan kepada saya. Di Aceh anak yatim piatu disayangi. Tuhan memberi berkah jika kita menyayangi anak yatim.
Satu hal lagi yang menunjukkan nasionalisme saya adalah peristiwa ini. Setiap sore, seusai mengaji di Mesjid Raya, saya pergi ke stasiun. Stasiun ini tidak jauh dari mesjid. Di situ ada kereta mayat yang diselubungi kain hitam. Kereta itu membawa mayat serdadu Belanda dari rumah sakit militer di dekat stasiun, ke kuburan Peucut.
Saya selalu gembira melihat pemandangan ini. Saya bangga pada patriot-patriot Aceh yang berhasil menewaskan serdadu kolonial. Umur saya waktu itu 13 tahun. Saya sudah mengerti arti penjajahan. Apalagi rumah saya dekat tangsi Belanda. Setamat dari HIS, saya melanjutkan sekolah ke Taman Siswa di Medan. Saya pergi dengan kemauan sendiri. Sebetulnya saya dipesan keluarga ibu saya untuk melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat dengan sekolah lanjutan pertama. Tetapi saya tidak mau lagi masuk sekolah Belanda.
Di Taman Siswa saya bertemu dengan bangsa sendiri. Ada orang Batak, Jawa, Mandailing. Perasaan lebih enak di sini. Saya menjadi pemimpin PMTS (Persatuan Murid Taman Siswa). Lalu saya mendirikan majalah sekolah Mertju Suar dan menjadi pemimpin redaksinya. Di situ pertama kali saya mencantumkan nama saya sebagai: Burhanudin Diah. Tadinya nama saya Burhanudin tok. Waktu di Aceh saya dipanggil Mohammad Yatim, karena saya anak yatim. Jadi, Burhanudin itu nama keren, Mohamad Yatim itu nama rakyat, ha-ha-ha.
Lalu seorang teman menanyakan kenapa memakai nama Diah? O, Diah itu nama ayah saya. Saya memakai nama ayah saya supaya orang mengenal siapa Burhanudin. Kan banyak nama Burhanudin. Saya tidak mau orang bertanya-tanya, Burhanudin yang mana? Jadi tanpa saya sadari I want to be different. Padahal ketika itu nama ayah tak lazim dipakai. Jadi cuma saya yang mencantumkan nama orang tua di belakang nama saya. Ada rasa bangga dan angkuh ketika menyandang nama ayah saya itu. Tapi saya tetap dipanggil Bur atau Atim.
AL CAPONE DAN DOUWES DEKKER
Setamat Taman Siswa di Medan, saya pergi ke Jakarta. Waktu itu namanya masih Batavia. Umur saya kira-kira 17 tahun. Jadi saya lulus HIS usia 13 tahun, lalu tamat Sekolah Taman Siswa 16 tahun. Saya sempat menganggur setahun. Kenapa saya memilih Jakarta? Tahun 193O-an Jakarta sudah jadi impian setiap orang. Banyak orang ingin datang ke kota ini. Saya berangkat dengan kapal laut Op Ten Noort.
Di Jakarta sulit mencari tempat indekos. Lalu saya ketemu teman-teman. Kami kemudian membuat asrama di Jalan Kepu, di daerah Senen. Daerahnya sepi. Kenakalan saya waktu kecil ternyata tidak luntur meskipun saya sudah besar. Di asrama saya sering mengganggu teman-teman. Karena saya suka mengganggu, mereka juga usil pada saya.
Suatu hari, sepulang dari melancong, saya mendapati sepatu-sepatu saya tergantung di atap tempat tidur. Saya marah sekali. Saya mencari orang yang mencari gara-gara. Saya ajak mereka berkelahi. Hari sudah gelap waktu itu.
Setelah puas, saya kembali ke kamar saya. Teman saya, orang Aceh, Abudurachman namanya, mendatangi saya. Dia bilang, "Tim, kamu jangan begitu. Kalau kamu mengganggu orang, orang tidak marah. Kalau kamu diganggu, kamu marah. Itu tidak baik." Saya tidak bilang apa-apa. Hati saya masih panas. Tapi saya membenarkan ucapannya.
Sejak itu saya berubah, saya menjadi lebih toleran. Pada perjalanan hidup saya selanjutnya, baik ketika saya jadi wartawan maupun politisi, saya sering dihantam dari mana-mana. Contohnya, waktu masih menjadi pengurus di Persatuan Wartawan Indonesia, nama saya sering disudutkan, tapi saya tidak mempermasalahkannya. Saya tidak marah, apalagi mendendam. Biasa saja. It's a political game. Sampai sekarang, sikap saya sama. Mungkin saya terpengaruh buku tentang Al Capone, itu gengster Amerika legendaris. Menurut buku itu dia mengatakan, biarkan saja orang membicarakan dirimu, baik atau buruk; jika itu ditulis di surat kabar, namamu jadi terkenal.
Selama di Jakarta saya mulai mencari sekolah yang cocok. Saya masuk ke AMS (Algemeen Middelbare School) Perguruan Rakyat, AMS Muhammadiyah, dan Taman Dewasanya Taman Siswa sekaligus. Namun ketiga sekolah itu tidak cocok buat saya. Saya tidak puas. Sekolahnya lama dan kurikulumnya macam-macam. Saya pikir, saya juga bisa dapatkan semua itu sendiri tanpa harus belajar.
Walaupun tidak lama memasuki sekolah itu, saya punya banyak kawan. Misalnya, Latif Hendraningrat, yang mengerek bendera merah putih pada saat proklamasi kemerdekaan RI, dan Soemanang, yang waktu itu sekolah di AMS Perguruan Rakyat. Kemudian Maria Ulfah dari…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…