SETELAH TRAGEDI SEPTEMBER KELABU

Edisi: 12/15 / Tanggal : 1985-05-18 / Halaman : -XI / Rubrik : SUP / Penulis :


TANGGAL 1 Juni ini mungkin akan "diperingati" secara khusus di kalangan perbankan. Genap dua tahun sudah deregulasi perbankan nasional diberlakukan. Kebijaksanaan baru yang ditetapkan pemerintah setelah Sidang Kabinet Terbatas bidang Ekuin itu menyangkut tiga segi: peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan tentang deposito berjangka. Ketiganya mempunyai satu tujuan: menyerap dana sebanyak: banyaknya dari masyarakat agar dapat tumbuh dan berkembang di atas kekuatannya sendiri.

"Deregulasi ini memang berdampak sangat besar," kata Somala Wiria, direktur utama Bank Negara Indonesia 1946. "Selama puluhan tahun bank nasional kita, terutama bank pemerintah, tergantung sepenuhnya pada Bank Indonesia. Pokoknya, serba diatur. Kini aturan permainan sudah berubah. Kekuatan pasar untuk selanjutnya akan menentukan. Dulu mekanisme pasar ini tak ada."

Bank Indonesia, ternyata, tidak tutup mata dan mengakui kelemahan posisi bank pemerintah dalam persaingan dengan bank swasta. Ketika itu bank-bank umum swasta nasional telah menawarkan bunga 18% setahun untuk deposito berjangka 6 bulan, sedangkan bank-bank pemerintah hanya memberikan antara 14-15%. Untuk menaikkan daya saing bank pemerintah, deregulasi 1 Juni 1983 itu menetapkan, bank pemerintah bebas menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik juga untuk menyimpannya di bank pemerintah, tidak melulu mencari bunga yang lebih tinggi dari bank umum swasta nasional atau bank swasta asing.

"Tetapi itu tak berarti bank-bank pemerintah menyatakan perang terhadap bank swasta," kata Omar Abdalla, direktur utama Bank Bumi Daya, sesaat setelah kebijaksanaan itu diumumkan. "Justru bank pemerintah dan bank swasta harus bersatu dalam menggalang pengerahan dana dari masyarakat seoptimal mungkin."

Perbanas (Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta) pun buru-buru membentuk tim tarif. Dalam waktu singkat, tim berhasil mencapai kesepakatan untuk memberlakukan tarif suku-bunga standar atas deposito yang diterima oleh bank swasta nasional. Tim ini ternyata tidak mengikutsertakan bank pemerintah. Mochtar Riady, chief executive director Bank Central Asia yang ditunjuk menjadi ketua tim tarif itu mengatakan: "Kita harus hati-hati, jangan berlomba memberi sukubunga yang tinggi karena itu bukan cara yang baik untuk menarik dana masyarakat. Bisnis bank ini bukan jual-beli uang, melainkan jual-beli kepercayaan."

Perang tarif memang kemudian tak terjadi dengan sengit. Kesepakatan antarbank swasta itu menetapkan sukubunga deposito seragam, dengan variasi antara 3-4%. Tergantung jangka waktunya, sukubunga deposito itu ditetapkan antara 14-20%.

Peta perbankan Indonesia tidak begitu saja berubah karena adanya deregulasi itu. Porsi terbesar masih tetap dikuasai oleh tujuh 'samurai' bank pemerintah: Bank Negara Indonesia 1946, Bank Rakyat Indonesia, Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Tabungan Negara, yang secara bersama-sama memiliki 77 % dari seluruh kekayaan perbankan di Indonesia. Sisanya, duapertiga dimiliki oleh 70 bank swasta nasional, dan sepertiga lainnya dimiliki oleh 11 bank asing .

Menurut Profil Keuangan Indonesia edisi keempat, berdasarkan data sampai 30 Juni 1984, disebut adanya tiga konglomerasi keuangan swasta terbesar. Konglomerasi terbesar, siapa lagi, kalau bukan kelompok Salim & Lippo (Soedono Salim alias Liem Sioe Liong dan Mochtar Riady). Selain Bank Central Asia, kelompok ini memiliki Bank Perkembangan Ekonomi Indonesia, Bank Perniagaan Indonesia, Bank Bhumy Bahari dan empat bank di luar negeri. Kelompok ini juga memiliki lima perusahaan asuransi, delapan perusahaan leasing, enam LKBB (lembaga keuangan bukan bank) dan dua money changer. Secara keseluruhan konglomerasi ini terdiri atas 20 lembaga keuangan dalam negeri dan 10 di luar negeri.

Peringkat kedua diduduki Kelompok Bumiputera 1912 yang memiliki lima perusahaan asuransi, tiga LKBB dan satu perusahaan leasing.

Peringkat ketiga diduduki Kelompok Panin yang memiliki dua bank, empat perusahaan asuransi, tiga LKBB, dan dua perusahaan leasing.

Hampir seluruh bank di Indonesia, terkecuali 27 bank pembangunan daerah, melakukan konglomerasi di bidang bisnis keuangan. Hanya 23 saja menurut Prof-l yang diterbitkan. oleh Christianto Wibisono itu, yang hanya melakukan jasa perbankan, tidak ikut di bidang asuransi, LKBB, leasing, atau money changer. Namun demikian mereka tetap mengaitkan diri dengan bisnis umum. Misalnya, Bank Danamon Indonesia berkaitan dengan produsen Pepsi Cola, Bank Indonesia Raya berkaitan dengan produsen Suzuki, South Asia Bank berkaitan dengan perusahaan real estate. Dengan demikian bank yang betul-betul bebas dari konglomerasi sangatlah sedikit. Atau, dalam istilah Robby Djohan, direktur utama Bank Niaga: "We are bankers, and we do banking only."

Analisis tahun 1984 menunjukkan makin tingginya peranan bank-bank milik pemerintah. Jumlah kekayaan dari ketujuh bank pemerintah itu naik dari 73,7% pada 1983, menjadi 77 % pada 1984. BNI 1946 menduduki tempat utama sebagai yang terkaya dan paling besar labanya. Sedangkan kenaikan laba terbesar, dihitung dari persentase, dialami oleh Bank Central Asia yang, anehnya, justru menurun kekayaannya.

Ke-116 bank…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

T
TEMPO DAN DUNIA YANG BUNDAR
1991-03-09

Pada ulang tahun ke-20, tempo menerbitkan edisi khusus yang menampilkan "duta-duta" tempo yang berhubungan dengan…

P
PESTA, PRESTASI DAN BISNIS
1989-08-26

Sea games xv di kuala lumpur dari 20 agustus 1989 s/d 31 agustus 1989. diikuti…

M
MEREKA YANG TERBAIK
1989-09-09

Sea games xv di kuala lumpur, dengan indonesia menjadi juara umum. nurul huda & eric…