OCTAVIO PAZ, AMERIKA LATIN, DAN SENJAKALA MODERNISME

Edisi: 18/22 / Tanggal : 1992-07-04 / Halaman : 05 / Rubrik : KAL / Penulis : Nirwan Dewanto


BERTAHUN-TAHUN lalu saya mengenal nama Octavio Paz melalui sebuah sajaknya
dalam terjemahan Indonesia. Baris-baris sajak itu tidak dapat saya ingat lagi,
tetapi yang tertinggal pada saya adalah "inti"-nya: aku yang melihat
perlahan-lahan berubah menjadi aku yang dilihat, aku yang menyatakan
bermetamorfosis menjadi aku yang dinyatakan. Bertahun-tahun kemudian saya sadar,
ketika itu saya tengah dan telah terpesona oleh nada tragis dan sentimental pada
sajak-sajak Indonesia -- mulai dari Amir Hamzah sampai para penyair tahun 1970-an
-- yang justru terjadi karena sang aku telah memisahkan diri dan memberontak
dengan serta-merta, aku yang menguasai "kenyataan" yang telah dimurnikan dari
kenyataan sehari-hari. Modernisme Indonesia, sebutlah demikian, telah memuncak
dengan cara seperti itu. Saya, yang begitu tergoda oleh lirikisme Indonesia, tidak
sampai pada penglihatan kritis pada sajak Paz itu. Untuk selanjutnya, Paz adalah
nama yang menghilang dalam khazanah sastra yang saya jelajahi.

; Bertahun-tahun kemudian, saya menemukan lagi Octavio Paz sebagai bagian dari
Amerika Latin, yakni faset yang melakukan reaksi terhadap modernisme Eropa. Dan
reaksi itu, bagaimanapun serunya, dilakukan baik setelah percumbuan maupun
pertarungan dengan Eropa. Ada banyak cara untuk memahami modernisme, namun yang
ingin saya kutip adalah diktum Immanuel Kant: pengetahuan, atau pengertian, tidak
menurunkan hukum-hukumnya dari, melainkan memaksakannya pada, alam. Diktum inilah
yang dipraktekkan, secara terang-terangan maupun terselubung, oleh ekonomi,
politik, dan seni modern. Inilah juga sisi tersembunyi dari humanisme -- terbit
dan terang-benderangnya akal budi (rasio, reason). Dan humanisme mempunyai
konsekuensi logis: penaklukan, yakni penaklukan terhadap yang hadir di luar aku:
alam. Yang disebut kemudian sebagai Dunia Ketiga -- emas, rempah-rempah, manusia
kulit berwarna, eksotisme -- adalah bagian dari alam. Pengetahuan dan kekuasaan
adalah dua sisi sebuah mata uang.

; Penaklukan Amerika Latin dibungkus dengan eufemisme Eropa: bahwa benua itu adalah
sebuah Dunia Baru. Beratus-ratus tahun setelah mata Eropa terbuka pada Asia,
Amerika Latin bukan saja sebuah wilayah yang teramat jauh, melainkan tak dikenal
sama sekali. Amerika Latin adalah sebuah kenyataan dalam dirinya sendiri, yang
harus dilahirkan oleh manusia Eropa sebagaimana kaidah-kaidah ilmu pengetahuan: ia
lebih merupakan invention daripada discovery, kata sejarawan Edmundo O'Gorman.
Kebudayaan Indian Pra-Kolombia sebelum masa kolonialisme adalah kebudayaan yang
paling murni dalam sejarah kemanusiaan, karena ia terisolasi selama ribuan tahun
oleh dua lautan besar: ia ada untuk dirinya sendiri, tidak dikalahkan dan tidak
menaklukkan. Ia tidak mengenal sesuatu di luar dirinya, yakni yang lain (the
other, otherness). Inilah benih kehancuran yang dikandungnya sendiri, karena
Dunia Baru adalah otherness bagi Eropa. Penaklukan bukanlah kejahatan,
demikian menurut pikiran sadar Eropa, melainkan penyebaran sabda Tuhan dan
akal budi. Pertemuan antara si penakluk dan si tertakluk adalah kenyataan yang
fantastis bagi yang pertama namun pembalasan dendam ilahiah bagi yang
terakhir. Amerika Latin terhukum untuk menjadi utopia Eropa.

; Orang-orang Spanyol, kata Pablo Neruda, mengambil emas kita, tapi kita mendapatkan
emas mereka: kata-kata. Marilah kita urai kata-kata penyair Cile itu. Dengan
kedatangan para conquistadores kebudayaan Pra-Kolombia hancur sama sekali
kecuali artifak-artifaknya. (Bandingkan dengan, misalnya, pertemuan antara
Jawa dan Islam, atau Jawa dan Belanda.) Pun kolonialisme Spanyol tidak
merekayasa salah satu bahasa pribumi untuk mempersatukan wilayah jajahan
mereka. (Marilah kita ingat bahwa Belanda, karena alasan-alasan obyektif,
telah merekayasa politik bahasa, yakni menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa
resmi. Dan modernisme Indonesia berawal ketika politik bahasa itu mencapai
kematangannya.) Dengan itu Amerika Latin menghubungkan sekaligus
mempertentangkan dirinya terhadap Eropa. Itulah hubungan yang tidak perlu lagi
dinyatakan secara normatif, misalnya dengan menyatakan "kami adalah ahli waris
yang sah dari kebudayaan dunia" seperti dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.
Bahasa Spanyol (dan bahasa Portugis di Brasil), dalam penggunaannya oleh para
pengarang Amerika Latin bagaikan cermin bagi sejarah yang koyak moyak oleh
penaklukan dan kekalahan, sejarah yang harus menghancurkan dirinya sendiri dan
kemudian bangkit lagi dari abu reruntuhannya seperti burung phoenix.

; Bertahun-tahun lalu, mungkin pada masa cinta pertama saya dengan sastra, saya
meyakini bahwa karya sastra adalah sesuatu yang direbut oleh pengarangnya dari
kenyataan, yakni dengan jalan menghancurkan kenyataan itu terlebih dulu.
Dengan kata lain: sebuah tour de force dari pengarangnya, kombinasi bakat dan
teknik yang leluasa -- hampir-hampir bersifat ilahiah -- untuk merebut inti
kenyataan, yakni bagian terdalam kenyataan yang tak tersentuh oleh hal-hal di
luar sastra. Pengarang dan penyair menempati posisi sangat khusus, dan
akibatnya, sang aku dalam karya sastra, meski sering bersifat tragik dan
absurd, tetaplah pusat dan penguasa benda-benda. Kritik sastra rupanya juga
terseret oleh kepercayaan ini: ia hanya ingin mengusut dari mana imajinasi
berasal dan bagaimana imajinasi bekerja. Mungkin inilah pukulan pertama bagi
saya dari modernisme Indonesia. Sampai saya menerima "pelajaran" tentang
imajinasi dari halaman pertama novel Seratus Tahun Kebisuan.

; Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu tembak,
ia terkenang akan sebuah sore yang jauh tatkala ia bersama ayahandanya
menyaksikan es untuk pertama kali. Ketika itu Macondo adalah sebuah desa
dengan dua puluh rumah batu bata, terpacak di tepi…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
MUSIK, TEATER, DAN POLITIK BUDAYA KOLONIAL PADA MASA RAFFLES DI JAWA 1811-1816
1993-05-01

Franki raden, peneliti musik, mengetengahkan perkembangan seni, musik, teater, budaya politik kolonial di kota-kota besar…

F
FILM DI INDONESIA: ANTARA PERTUMBUHAN DAN KECEMASAN
1993-05-01

Tanggapan garin nugroho, sutradara film, tentang gejala perfilman indonesia selama 20 tahun terakhir. ia tak…

D
DUA ZAMAN, DUA POLITIK KEBUDAYAAN: PENGANTAR UNTUK DUA TULISAN
1993-05-01

Dua tulisan, masing-masing membahas soal pelbagai peristiwa seni di kota-kota di jawa pada awal abad…