PAYUNG, DUNIA MALAM HARI, DAN BULAN YANG SENDIRI

Edisi: 18/22 / Tanggal : 1992-07-04 / Halaman : 21 / Rubrik : KAL / Penulis : MILAN KUNDERA


DALAM perjalanan pembuangannya ke Amerika, 1941, Andre Breton singgah di
Martinique. Para pengikut Vichy yang tengah berkuasa di pulau itu
menangkapnya, dan melepasnya beberapa hari kemudian. Menelusuri
Fort-de-France, ia memasuki toko pakaian pria. Di toko itu ia menemukan sebuah
majalah budaya lokal Tropiques (atau Tropika). Ia terheran-heran. Di saat
gelap hidupnya, Tropiques seperti secercah cahaya puisi dan harapan. Segera ia
menjumpai para pengasuhnya, orang-orang muda berumur dua puluhan yang dipimpin
oleh Aime Cesaire. Ia menghabiskan waktu bersama mereka. Kebahagiaan yang
mendebarkan bagi Breton, dan pesona tak terlupakan bagi para penulis
Martinique itu.

; Beberapa tahun kemudian, 1945, Breton mengadakan kunjungan singkat ke Port-au
-Prince, Haiti, untuk berceramah. Kaum cerdik cendekia Haiti hadir, termasuk
Jacques Stephen Alexis dan Rene Depestre. Mereka menyimak suara Breton dengan
seksama, seperti orang-orang Martinique beberapa tahun sebelumnya. Majalah kecil
mereka, La Ruche (atau Sarang Lebah) -- zaman itu adalah zaman keemasan majalah
-majalah kecil -- menerbitkan nomor khusus tentang Breton. Nomor itu disita, dan
majalah itu dilarang terbit.

; Bagi mereka, pertemuan dengan penyair dan pemimpin surealisme itu begitu singkat
namun tak terlupakan. Hanya pertemuan. Bukan pergaulan, bukan persahabatan,
bukan persekutuan. Sebuah pertemuan: sebuah percikan, sebuah kilatan, sebuah
kebetulan. Ketika itu Alexis berusia 23 tahun, dan Depestre 19 tahun. Tentang
surealisme, mereka hanya tahu serba sedikit. Mereka tak tahu sama sekali
tentang pertentangan politik di antara kaum surealis. Gairah belajar mereka
sama besarnya dengan kepolosan mereka. Mereka terpincut oleh kata-kata Breton,
tentang pemberontakan artistiknya, tentang manifesnya yang melepas bebas arus
bawah sadar.

; Tahun 1946, Alexis dan Depestre mendirikan sebuah partai berhaluan radikal dan
mulai menulis karya-karya berdasarkan garis revolusioner. Ketika itu Soviet-Rusia
dan realisme sosialis tengah merajalela. Tapi guru sastra mereka bukanlah Maxim
Gorky, melainkan Andre Breton. Mereka tidak bicara tentang realisme sosialis. Bagi
mereka, sastra mestinya menampilkan bukan kenyataan harfiah, tetapi kenyataan yang
mengejutkan, mempesona, dan tak tunduk pada kesadaran. Itulah sastra tentang
"kemukjizatan" -- the marvelous, dalam kamus Inggris. Alexis dan Depestre segera
diusir dari negerinya. Kemudian Alexis kembali ke Haiti, 1961, untuk melanjutkan
perjuangan. Ia ditahan, disiksa, dan dibunuh. Ketika itu ia 39 tahun.

***

; KARYA seni adalah persimpangan jalan. Saya pikir, jumlah jalan yang bertemu akan
menentukan mutu seninya. Saya teringat Aime Cesaire: ia adalah pendiri besar.
Pendiri politik Martinique, yang belum wujud sebelumnya. Pada saat yang sama, ia
juga pendiri sastra Martinique. Kumpulan puisinya Kembali ke Tanah Muasalku
(Breton menyebutnya sebagai "monumen lirik terbesar pada zaman kita") sungguh
mendasar bagi orang Martinique (dan orang Karibia pada umumnya), seperti halnya
Pan Tadeusz-nya Adam Mickiewicz bagi orang Polandia dan puisi Sandor Petofi bagi
orang Hungaria. Kepeloporan politik dan sastra bertemu dalam diri Cesaire.

; Namun, tidak seperti Mickiewicz dan Petofi, Cesaire bukan hanya penyair-pendiri.
Ia juga penyair modern, penerus Arthur Rimbaud dan Andre Breton. Para penyair
-pendiri berada di zaman lampau: merekalah yang memulai evolusi yang akhirnya
memuncak pada modernisme. Jika Cesaire adalah penyair-pendiri sekaligus penyair
modern, berarti dua zaman, awal dan akhir, bertemu dalam karyanya.

; Tropiques, yang terbit dengan sembilan nomor selama 1941-1945, mengulas tiga topik
besar yang sesungguhnya merupakan satu keseluruhan (hal itu, saya kira, tak
terdapat di majalah-majalah garda depan yang lain pada zaman itu):

; Emansipasi politik dan budaya Martinique.
Ulasan tentang akar perbudakan dan kebudayaan Afrika. Polemik dengan Gereja
dan Vichy. Ulasan tentang kenyataan budaya dan politik di Martinique. Langkah
pertama dalam pemikiran tentang negritude (Cesaire-lah yang pertama
meluncurkan kata itu, sebagai gedoran, untuk menggantikan arti buruk kata
negre, "negro").

; Pelajaran tentang seni dan puisi modern.
Ulasan tentang para penyair modern: Rimbaud, Lautreamont, Mallarme, Breton.
Semenjak nomor 3, majalah itu amat bersemangat dalam mengulas surealisme.
Ingatlah, meskipun orang-orang muda itu sangat politis, mereka tidak mengorbankan
puisi demi politik: bagi mereka surealisme mula-mula adalah gerakan seni.
Identifikasi mereka dengan surealisme begitu kuatnya, seperti cinta remaja. Mereka
menciptakan kalimat- kalimat berdasarkan ungkapan Breton "keindahan haruslah
menjadi ledakan atau tidak sama sekali". Di bawah pengaruh Breton
("kemukjizatan selalu indah, kemukjizatan tertentu itu indah, dan dalam
kenyataan hanya kemukjizatanlah yang indah"), kemukjizatan menjadi kata kunci.
Ungkapan Lautreamont "seindah jika sebuah mesin jahit berjumpa dengan sebuah
payung" (yang dibuat terkenal olah kaum surealis) sungguh berpengaruh.
Cesaire: "Puisi Lautreamont, seindah perintah pengusiran . . .." Breton:
"Bahasa Aime Cesaire, seindah udara yang menghujan . . .."

; Pendirian patriotisme Martinique. Harapan untuk menggenggam pulau Martinique
sebagai rumah bangsa, sebagai tanah air yang harus dikenali terus-menerus. Ulasan
tentang binatang-binatang di Martinique; tentang tumbuhan-tumbuhan di pulau
itu dan asal-muasal nama lokalnya. Dan yang terpenting adalah pemaparan
tentang seni rakyat dan kisah-kisah yang dilisankan dalam bahasa Kreol.

; Tentang seni rakyat, saya ingin mengatakan beberapa hal di sini. Di Eropa, ia
ditemukan oleh kaum Romantik (dalam sastra: Brentano, Achim von Arnim, Grimm
Bersaudara; dalam musik: Liszt, Chopin, Brahms, dan sebagainya). Itulah
sebabnya mengapa kaum modernis menganggap seni rakyat sebagai topi tua,
kecuali Bartok dan Janacek, dan Stravinsky pada selang tertentu kariernya.
Bagi ketiga komposer modern itu, musik "serius" sudah kehilangan keliaran
artistiknya, dan itu bisa didapat lagi dari musik rakyat. Cesaire dan
kawan-kawan bersikap sama. Bagi mereka, khayalan liar dalam cerita-cerita
rakyat Martinique sungguh cocok dengan aspirasi…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
MUSIK, TEATER, DAN POLITIK BUDAYA KOLONIAL PADA MASA RAFFLES DI JAWA 1811-1816
1993-05-01

Franki raden, peneliti musik, mengetengahkan perkembangan seni, musik, teater, budaya politik kolonial di kota-kota besar…

F
FILM DI INDONESIA: ANTARA PERTUMBUHAN DAN KECEMASAN
1993-05-01

Tanggapan garin nugroho, sutradara film, tentang gejala perfilman indonesia selama 20 tahun terakhir. ia tak…

D
DUA ZAMAN, DUA POLITIK KEBUDAYAAN: PENGANTAR UNTUK DUA TULISAN
1993-05-01

Dua tulisan, masing-masing membahas soal pelbagai peristiwa seni di kota-kota di jawa pada awal abad…