Mochtar Lubis: Pahlawan Saya Mahatma Gandhi
Edisi: 02/22 / Tanggal : 1992-03-14 / Halaman : 43 / Rubrik : MEM / Penulis : BSU
Dalam usia 70 tahun pekan lalu, wartawan sejak sebelum perang ini mengenang
banyak zhal. Dari "zaman keemasan pers Indonesia", hubungannya dengan Bung
Karno,sampai bagaimana menjaga semangat dalam sel penjara. Dialah wartawan
Indonesia yang banyak memperoleh penghargaan internasional. antara lain Hadiah
Ramon Magsaysay dari Filipina, dan Pena Emas dari Federasi Pemimpin Redaksi
Sedunia. Sastrawan yang juga banyak meraih hadiah ini, yang mendirikan majalah
sastra Horison, dan salah seorang anggota Akademi Jakarta ini bertutur tentang
semua itu kepada Leila S. Chudori.
; Saat itu saya masih berusia sembilan tahun. Dan saya ingat betul, di suatu
pagi, ayah yang bekerja sebagai seorang demang di Kerinci melarang kami
bermain di halaman belakang rumah kami yang luas. Rumah kami yang terletak di
bukit memang dipenuhi pohon, dan kami sering memanjat pohon-pohon itu untuk
memandang kota Sungai Penuh atau menonton yang terjadi di halaman belakang
penjara. Tapi, justru karena ayah melarang, saya jadi penasaran.
; Saya terbelalak, karena saya melihat ayah saya beserta seorang dokter kenalan
keluarga kami dan kontrolir Belanda berdiri di halaman belakang penjara.
Kemudian dua tahanan yang lunglai keluar dari pintu penjara diiringi pengawal
penjara. Tahanan itu diperintahkan tengkurap di dua balai. Kaki dan tangan
mereka diikat. Dua orang berpakaian hitam dan membawa cambuk panjang menyusul.
Setelah dokter memeriksa kedua tahanan, kepala penjara memberi perintah pada
dua orang berpakaian hitam tadi. Maka keduanya memulai mencambuki punggung
kedua narapidana itu. Setiap kali cambuk itu mendarat di punggung mereka,
hatiku terasa ikut dicambuk. Dari jauh saya bisa melihat dengan jelas darah
segar yang menetes. Kenapa Bapak tidak menghentikan tindakan itu ? Dan
bagaimana dokter kenalan kami bisa berdiri disana ? Lalu, kenapa kepala polisi
yang selama ini begitu ramah tamah pada kami kelihatan garang disana ? Saya
tak tahan lagi,saya menangis ,saya berlari kerumah.
; Dirumah saya katakan pada ibu badan saya panas. Saya meringkuk di tempat
tidur sampai Bspsk pulang. Siang hari, Bapak banyak memandangi saya dengan
lembut. Saat itu saya menyadari, ia pasti tahu bahwa saya mengintip kejadian
itu. "Sekarang kau mengerti kenapa aku selalu melarang anak-anakku untuk
menjadi pegawai Belanda. Cukup satu saja di keluarga ini!" katanya sambil
mengusap kepala saya. Saya menangis dengan hati perih.
; Belakangan saya baru tahu identitas kedua narapidana malang itu. Bapak
bercerita bahwa kedua orang yang dicambuk itu kuli kontrak dari pulau Jawa.
Mereka bekerja di perkebunan teh terbesar di Indonesia di daerah Kayu Aro,
Kerinci. Karena upah mereka tidak memadai, maka para kuli ini suka meminjam
uang. Nah, jika kontrak habis sementara mereka masih berhutang, terpaksa
mereka bikin kontrak barudengan Belanda. Ini menyebabkan mereka harus jadi
kuli kontrak sampai mati. Mereka yang sudah tidak tahan dengan beban itu lalu
mencoba melarikan diri. Mereka yang kabur dan tertangkap itulah yang dipecut
punggungnya hingga keluar darah.
; Kejadian ini terus membayang di benak saya, hingga mempengaruhi pandangan
saya terhadap keadilan. Dan agaknya peristiwa inilah menjadi dasar dari sikap
saya sebagai wartawan maupun sebagai penulis.
; MASA KECIL
; Sentuhan saya pada kesenian sebenarnya diawali dengan melukis. Saya mulai
melukis ketika saya masih di sekolah rakyat. Baru ketika saya duduk di kelas V
saya mulai menulis cerita anak-anak. Mungkin saya terpengaruh oleh ibu saya
yang sering mendongeng dan saya mengulangnya buat adik-adik. Abang dari ibu
saya seorang seniman Mandailing yang menulis syair-syair dalam huruf
Mandailing.
; Ibu melahirkan saya di Padang 7 Maret 1922 sebagai anak keenam. Kami semua
berjumlah 10 bersaudara yang terdiri lima perempuan dan lima lelaki. Ibu saya
, Siti Madinah bermarga Nasution meninggal ketika berusia 96 tahun. Ayah saya
Raja Padapotan bermarga Lubis meninggal ketika berusia 75 tahun.
; Meski lahir dan dibesarkan di Padang, saya tetap merasa sebagai seorang
Mandailing. Bagi saya, Mandailing adalah tanah yang cantik. Pada zaman
kolonial, daerah itu masih penuh harimau, gajah, dan burung-burung dan tak
mungkin saya bisa-lupakan alamnya dan gunung Merapinya ada sungai yang indah
berpasir mengandung emas. Orang Mandailing mencari nafkah dari tanaman karet,
tapi jika harga karet jatuh, mereka ke sungai mendulang emas.
; Meski ayah saya bekerja sebagai demang, tak bosan-bosannya ia mengatakan
kepada kami, "Jangan kalian bekerja kepada pemerintah Belanda." Sebagai
pegawai Belanda, ayah saya terkenal tegas, tak pandang bulu. Ia pernah
diturunkan pangkatnya gara-gara menampar seorang kontrolir Belanda. Ayah saya
kesal karena kontrolir itu bersikap congkak.
; Kesadaran bahwa kita dijajah cepat sekali tumbuh di dalam diri saya. Ayah tak
mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda. Ia masukkan abang saya ke
America Methodist Boys Scool di Medan, abang saya tertua dikirim sekolah di
Singapura, dan saya sendiri setelah lulus sekolah rakyat dikirim ke Sekolah
Ekonomi di Sumatera Tengah. Padahal, saya ingin masuk MULO, karena saya ingin
jadi dokter. "Jangan! Kalau kamu sekolah dokter, nanti bekerja pula sama
Belanda," cegah ayah saya. Jadi, dengan berat hati saya Sekolah Ekonomi di
Kayu Tanam, di kaki gunung di luar kota Padang.
; Sekolah ini memang agak istimewa dari segi kurikulum maupun filsafat. ini
sekolah yang didirikan oleh salah seorang tokoh pendidikan yang bernama S.M
Latief. Ia lulusan pertanian tinggi di Nederland. Latief membangun sekolah ini
dengan tujuan mendidik anak Indonesia untuk menjadi mandiri, merdeka dan anti
kolonialisme. Mereka mengajar kepada murid agar paramurid jangan ada yang mau
bekerja dengan Belanda setelah lulus nanti. Akhirnya, saya memang menyukai
guru-gurunya dan setuju dengan filsafat sekolah itu, yakni anti kolonialisme.
Maka kami mengerti apa arati penjajahan, mengapa kita menginginkan
kemerdekaan, apa arti Indonesia Raya, apa haraga diri bangsa, dan seterusnya.
; Dalam hal kurikulum, sekolah ini agak berbeda dengan sekolah umum lainnya.
Anak-anak yang bersekolah disitu bisa meneruskan SMP ke SMA yang sama. Dan
masih semuda itu, kami sudah siajaarkan pemikiran Adam Smith dan teori ekonomi
lainnya.
; Selain itu, mereka juga tidak ingin menjejalkan hafalan seenaknya. Mereka
ingin kami mengerti filsafat hidup melalui berbagai praktek. Misalnya, suatu
hari, suatu hari kami diajarkan main catur. Mula-mula saya heran dan tidak
melihat konteks pengajaran catur dalam hidup. Setelah delapan bulan gurunya,
bertanya, kenapa kita belajar main catur. Semua murid mengangkat tangan.
Seorang kawan saya menjawab, "karena permainan ini mengajak kita berpikir
berbagai langkah dan antisipasi ke masa depan dan belajar berpikir yang
matang." Dan guru saya membenarkan. Ketika libur, anak-anak yang sudah kelas
senior disuruh latihan kerja di perkebunan karet atau perkebunan kelapa sawit
atau di pabrik dan dianjurkan bergaul dengan kuli-kuli. Selain itu, karena
kami tinggal di asrama fasilitas yang lengkap tersedia. Kami bisa main tenis,
berenang, atau naik gunung. Jika pelajaran botani, kami diajak masuk hutan
untuk mempelajari kekayaan tanaman Indonesia selama 10 hari atau lebih. Jadi
kami tidak mengurung diri di kelas saja.
; Yang paling mengesankan adalah perpustakaan sekolah yang saat itu yang
terbesar di Sumatera karena memiliki 35 ribu buku. Latief mempunyai cara
sendiri untuk mengumpulkan buku sebanyak itu. Setiap tigs bulan sekali, ia
menerbitkan sebuah majalah bernama Resensi dalam empat bahasa: Jerman,
Belanda, dan Prancid. Kemudian dia kirimkan kesemua penerbit di seluruh dunia.
Maka para penerbit mengirim buku-buku sastra, ekonomi, politik, dan buku-buku
lainnya ke perpustakaannya.
; Yang lebih penting lagi, kami selalu didorong untuk selalu membaca. Cara
mereka mendorong kami adalah dengan memberikan kredit angka jikalau kami bisa
menceritakan kembali buku yang sudh kami baca. Melalui perpustakaan itulah
saya mengenal karya sastra dunia.
; Saya ingat betul, salah satu buku yang berkesan bagi saya dimasa kanak-kanak
adalah Tom Sowyer karya Mark Twain yang terjemahannya diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Sungguh saya melihat diri seolah-olah seperti Tom yang senang
bertualang itu. Saya juga terkesan oleh karya Hernet Becheer Stowe yang
berjudul Uncle Tom's Cabin. Betapa sedihnya ketika saya membaca halaman
terakhir buku itu. Setelah lebih dewasa, saya mulai menyukai buku sastra
klasik Perancis karya Dostoyesky dan berbagai sastra klasik Perancis dan
Inggris. Untuk sastra kontenporer saya penggemar Albert Camus dan Ernest
Hamingway.
; Ketika saya berusia 16 tahun saya bergabung dengan Indonesia Muda, sebuah
pergerakan yang mendukung gerakan nasionalis untuk merebut kemerdekaan.
Anggotanya adalah pemuda berusia 16 ke atas.
; MASA PENJAJAHAN
; Sebelum Perang Dunia II, sekitar tahun 1940-an, saya lulus sekolah. Karena
saya bercita-cita ingin menjadi dokter, maka saya pindah ke Jakarta. Semula
saya berkerja di Bank Factorij, sebuah bank besar Belanda yang mendukung
finansial industri gula di pulau Jawa. Sementara abang saya, Bactar Lubis,
yang sekolah di America Methodist Boys Scool,sudah bekerja di konsulat
jenderal Inggris. Selama saya bekerja di sana, saya selalu berterus terang
pada rekan Belanda, "kalian tak boleh berlama-lama di sini." Lalu kami mulai
berdiskusi hingga meningkat menjadi perdebatan yang panas.
; Dua tahun kemudian, Jepang datang. Kantor Bank Fatorij langsung disita. Saya
ingat betul, betapa gembiranya kawan-kawan saya yang menyangka akan dibantu
orang jepang. Ketika jepang mendarat di Banten, orang jakarta sudah siap
menyambut. Saya menunggu mereka di Hayam Wuruk. Di sebelah saya ada seorang
nyonya muda Belanda dengan anaknya yang berumur sekitar lima tahun. Ketika
tentara jepang masuk, baunya menyerang hidung kami karena mereka baru saja
berperang dan tak pernah mandi. Ada yang menuntun sepeda dan semua membawa
senapan yang lebih panajng dari badannya. Eh, tiba-tiba anak kecil Belanda itu
berteriak dalam bahasa Belanda sambil menunjuk bendera Jepang, "Mami,mami
alangkah jeleknya bendera itu,mami..." Ibunya menyuruh anaknya menutup mulut
sambil melirik saya, wajahnya tampak ketakutan. Saya tersenyum padanya. Dan
nyonya muda itu membungkuk sedikit serta menarik anaknya, lalu mereka pergi.
; Disitulah saya melihat betapa takutnya Belanda terhadap orang jepang. Orang
Indonesia pada umumnya gembira bukan karena jepang masuk Indonesia, tapi
gembira merayakan kekalahan Belanda. Ada yang percaya bahwa jepang akan
memberikan kemerdekaan itu dan adapula yang curiga dengan kehadiran jepang.
Belum lama ini terbuka bagaimana tentara jepang memperlakukan wanita-wanita
Korea. Saya merasa mereka pernah memperlakukan hal yang sama terhadap permpuan
Indonesia. Saya mendengar dari beberapa kawan, mereka melihat
perempuan-perempuan Indonesia yang dibawa ke Tanjung Priok untuk dikirim ke
Ambon dan ke tempat lain tentara Jepang bertugas. Entahlah. Memang ada yang
melakukan investigasi tentang hal ini.
; Saya menganggur sekitar…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…