Tak Ada Sejarah Yang Final
Edisi: 34/22 / Tanggal : 1992-10-24 / Halaman : 43 / Rubrik : MEM / Penulis :
Sebuah buku, Sejarah Nasional Inddonesia Jilid VI, tentang sejarah Indonesia
tahun 1945 sampai 1970-an, beberapa waktu lalu dikritik, dianggap kurang
objektif: terlalu menonjolkan peranan militer, kurang menampilkan sisi-sisi
penting di sekitar proklamasi, termasuk ketokohan Bung Karno. Salah seorang
dari tiga nama dari buku itu adalah sejarawan Sartono Kartodirdjo. Bertolak
dari masalah buku sejarah itu Memoar ini diturunkan. Wartawan Biro TEMPO
Yogyakarta, Mochamad Faried Cahyono, mewawancarai guru besar sejarah UGM yang
kini 71 tahun itu, beberapa kali. Berikut ini sebagian hasilnya.
; TERCANTUMNYA tiga nama, Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro,
dan Nugroho Notosusanto, pada sampul muka buku Sejarah Nasional Indonesia,
bisa menimbulkan salah pengertian bahwa kami bertigalah yang menulisnya. Saya
sendiri sebenarnya kurang menyetujui pencantuman nama itu. Kami bertiga adalah
pengurus dari Panitia Penulisan Buku Sejarah Nasional yan~g dibentuk pada
akhir Seminar Sejarah Nasional I di Yogya, Agustus 1970. Saya, waktu itu,
ketua umum panitia tersebut, Bu Marwati ketua I, dar Pak Nugroho ketua II.
; Struktur organisasi penyusunan buku yang enam jilid itu dibagi menjadi enam
seksi sesuai dengan banyaknya jilid yang direncanakan. Tiap seksi membawahi 4
hingga 5 oran~ anggota penulis. Ada penulis yang terus ikut sampai buku
selesai ditulis. Ada penulis yang diganti karena sakit atau sebab yang lain.
Tiap seksi menulis satu jilid.
; Sebagai ketua umum saya berkewajiban membuat kerangka acuan, sebuah kerangka
umum untuk seluruh penulisan. Pelaksanaannya terserah pada ketua seksi
masing-masin~. Kerangka itu kemudian diterbitkan oleh Gramedia, tahun 1983,
berjudul Historiografi Indonesla.
; Sebagai ketua, saya juga sudah membuat kata pengantar umum untuk seluruh
penulisan itu. Sayang, hanya dimuat pada ji~lid 1. Jadi, mereka yang tidak
membeli seluruh jilid, tak tahu hubungan antarjilid, jika tak membaca kata
pengantar yang hanya ada pada jilid I itu. Membaca kata pengantar itu penting,
terutama untuk mendapatkan gambaran yang mendasari buku Sejarah Nasional
Indonesia itu apa. Seharusnya, kata pengantar itu dimuat di setiap jilid.
; Selain itu, saya juga menyumbang tulisan untuk jilid IV, terutama mengenai
Abad XIX tentang "tanam paksa" dan sebagainya. Saya juga memberi sumbangan
pada jilid V mengenai perkembangan sosial ekonomi tahun 1900-1930-an.
; Yang jelas, saya tak turut menulis jilid Vl, buku yang direvisi itu. Sejauh
ini tanggung jawab saya mengenai jilid VI adalah karena kedudukan saya sebagai
ketua umum. Pimpinan langsung untuk semua jilid adalah ketua seksi
masing-masing, dan jilid VI ketua seksinya Nugroho Notosusanto.
; Kembali pada soal kerangka umum itu, ternyata banyak yang tak
mengindahkannya. Saya kan sudah memberi kerangka umum mengenai masalah
periodisasi. Pembagian atas enam jilid saya rasa selaras dengan garis besar
periodisasi. Tapi tema pokok yang saya ajukan dan ini sebenarnya teori atau
tesis yang saya ajukan mengapa kami memberi nama buku sejarah Indonesia itu
sebagai Sejarah Nasional Indonesia. Nama itu menunjukkan suatu kesatuan dan
menunjukkan satu unit dari penulisan yang menjadi enam jilid itu.
; Yang harus ditonjolkan dari enam jilid itu adalah benang merah kesatuannya.
Umpamanya, kami tidak menulis mengenai Budi Utomo lalu Serikat Islam satu per
satu. Melainkan mengenai pergerakan itu secara keseluruhan, bagaimana
terbentuknya suatu elite baru. Dan lewat organisasi-organisasi itu mereka
menemukan identitasnya yang baru. Organisasi-organisasi itu memberikan arena
politik baru tempat mereka bisa berkomunikasi, dari yang semula hanya
merupakan suku-suku yang terpisah.
; Dalam Seminar Sejarah Nasional I di Yogya tahun 1957, saya sudah mengemukakan
itu, bahwa yang harus kita lihat itu adalah wawasan nasio-sentris itu. Yakni
bagaimana seluruh masalah nasional Indonesia itu merupakan pengalaman kolektif
bangsa, melalui proses integrasi. Ini yang sesungguhnya menjadi faktor pokok,
yang menjadikan kita ini satu bangsa. Dan ini yang ingin dituliskan dalam
Sejarah Nasional Indonesia itu.
; Kalau kita baca SNI jilid I-VI, menurut selera saya masalah proses integrasi
masih kurang menonjol. Jadi, tiap-tiap jilid SNI masih terasa berdiri
sendiri-sendiri. Dan memang tidak mudah untuk menyusun sesuai dengan kerangka
yang saya inginkan.
; Mengapa kita kadang-kadang menghindari satu penulisan sejarah kontemporer?
Ini karena secara inheren hal-hal yang potensial menimbulkan kontroversi akan
muncul. Karena masih sering sejarah kontemporer menyangkut tokoh-tokoh atau
pengikut yang masih hidup.
; Jarak yang masih cukup dekat menimbulkan persoabn yang agak besar. Saya,
umpamanya, menulis peristiwa 100 tahun lalu mengenai pemberontakan Banten.
Saya merasa cukup jauh jaraknya. Saya tak punya kepentingan apa-apa, baik pada
pihak pemberontak maupun yang diberontak. Kata profesor yang menguji tesis
saya itu: "Kabu nama Anda dihibngkan, orang tak akan tahu kalau penulisnya
orang indonesia." Saya tak tahu apakah ini hinaan atau pujian, tapi paling
sedikit komentar profesor saya itu merupakan bukti bahwa saya sudah mencoba
mendekati objektivitas.
; Saya ingin mengatakan seobjektif mungkin. Saya tak ingin membuat evaluasi
terhadap sejawat Nugroho Notosusanto yang sudah meninggal. Itu terasa kurang
etis buat saya. Tapi, itu tadi, kendala yang dihadapi sejarawan kontemporer
berlaku untuk siapa saja, termasuk saya, termasuk Pak Nugroho. Penulis sejarah
kontemporer menghadapi kesulitan membuat jarak terhadap zaman, situasi,
apalagi terhadap tokoh-tokohnya.
; Kalau toh itu ditulis, dan menjadi kontroversial, karena orang membaca
tulisan mengenai sejarah kontemporer tidak sebagai pengkaji sejarah secara
ilmiah. Tapi mereka membaca sebagai pengikut partai dengan aliran politik atau
ideologi tertentu. Nah, kalau sejarah sudah diserahkan kepada kaum partisan,
semua sudah dinilai, disusun dengan perspektif partisan itu, ya sukar
dikatakan objektif.
; Soal Bung Karno, kenyataannya, tokoh itu dan penulisan sejarahnya, kalau
dimuat dalam buku sejarah masih menimbulkan atau masih bersifat kontroversial.
Ini karena masih cukup banyak orang bertindak sebagai partisan -- tidak seperti
sejarawan -- dalam menghayati ilmu sejarah. Kalau seorang menghayati sejarah
sebagai partisan, bagaimana bisa menghadapi bahan pelajarannya itu secara
kritis dan objektif? Contoh paling kontroversial adalah…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…