Jakob Sumardjo, Filsafat, Dan Teater

Edisi: 34/48 / Tanggal : 2019-10-20 / Halaman : 52 / Rubrik : MEM / Penulis : Anwar Siswadi, ,


PENULIS dan pengajar. Sepasang pekerjaan itu telah menyita separuh hidup Jakob Sumardjo. Pria kelahiran Jombor, Klaten, Jawa Tengah, 26 Agustus 1939, itu tinggal di Yogyakarta sejak 1950 dan hijrah ke Bandung setelah menyelesaikan pendidikan sarjana mudanya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Darma, Yogyakarta, pada 1962. Ia kemudian meraih gelar sarjana sejarah di IKIP Bandung pada 1970.

Dalam dua kali pertemuan dengan Tempo di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung—kampus tempat ia mengajar—pada akhir Agustus dan pertengahan September lalu, Jakob berkisah tentang perjalanan hidupnya. Sejak kecil ia suka menulis dan berlanjut menjadi penulis lepas kritik sastra serta artikel kebudayaan di beberapa media cetak lokal dan nasional. Penggemar film yang menjadi anggota Forum Film Bandung sejak 1987 itu pernah mengajar di Sekolah Menengah Atas Santa Angela, Bandung. Ia lalu mengajar di Akademi Seni Tari Indonesia sejak 1980 serta menjadi dosen dan guru besar di kampus yang kini bernama ISBI Bandung itu.

Pria berpembawaan kalem itu masih aktif mengajar di ISBI Bandung dan kampus lain, seperti Institut Teknologi Bandung dan Institut Kesenian Jakarta, setelah pensiun pada 2009. Dikenal sebagai salah seorang pelopor kajian filsafat di Indonesia, Jakob memiliki pandangan khusus tentang filsafat Indonesia. Kelompok etnis di Indonesia, kata dia, memiliki pola pikir dasar yang menjadi struktur seluruh bangunan karya budaya.

Ia mempelajari filsafat, seni dan sastra, teater, serta belakangan kajian budaya Sunda serta daerah lain di Nusantara secara otodidaktik. Buah pikirannya terangkum dalam hampir 60 judul buku karyanya. Kajiannya lebih banyak bersandar pada ilmu sejarah, yang ia pelajari saat kuliah. Meski ada yang menjadi kontroversi, sumbangsih pemikiran Jakob lewat buku-bukunya tetap dipelajari mahasiswa dan khalayak ramai.

***

JAKOB Sumardjo baru selesai mengajar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Rabu sore, 18 September lalu. Kemeja putih bercorak garis-garis tipis dan celana denim abu-abu muda membalut tubuhnya. Ia tampil santai dengan tas selempang hijau dan sepatu kasual. Pensiun satu dekade lalu, lelaki berambut perak itu tak lantas berhenti berbagi ilmu. Tiap Senin, ia masih mengajar di Program Pascasarjana ISBI dan Program Studi Seni Rupa Institut Teknologi…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…