Aloysius Sugiyanto: Tidak Ada Saya, Mungkin Tidak Ada Kopassus

Edisi: 40/48 / Tanggal : 2019-12-01 / Halaman : 60 / Rubrik : MEM / Penulis : Fery Firmansyah, Reza Maulana,


MENYIMAK perjalanan hidup Aloysius Sugiyanto serasa membuka lembaran buku sejarah. Pensiunan Kolonel Angkatan Darat itu berlaga di banyak palagan, dari peristiwa Bandung Lautan Api, penumpasan pemberontak separatis di Maluku, pembebasan Irian Barat, hingga aneksasi Timor Timur.

Namun status yang membawa Sugiyanto menjadi saksi hidup perjalanan republik ini—dari era revolusi fisik, Orde Lama, hingga Orde Baru—ialah prajurit telik sandi. Agen intelijen yang bertarung di balik tabir dan bayang-bayang. Segudang tugas rahasia dia jalankan, dari menggandakan Surat Perintah Sebelas Maret yang kontroversial, menjadi agen Operasi Khusus yang menyusup ke Malaysia sampai Timor Timur, hingga melobi sejumlah pihak untuk melancarkan pendirian Golongan Karya dan ASEAN.

Sebagai intel, tak banyak yang mengetahui gerak-gerik Sugiyanto. Termasuk jejaknya saat merintis pendirian pasukan komando Angkatan Darat, yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dialah yang menemukan Rokus Bernardus Visser alias Mochamad Idjon Djanbi, mantan serdadu Belanda yang menjadi pelatih dan komandan pertama pasukan tersebut.

Dalam dua kali pertemuan pada pengujung Oktober dan awal November lalu, Sugiyanto menerima wartawan Tempo, Reza Maulana, Fery Firmansyah, dan Isma Savitri, di kediamannya di Jalan Bondowoso, Menteng, Jakarta Pusat. Ayah satu anak dan kakek dua cucu itu tinggal bersama istrinya, Elizabeth Sarwitri Sakuntala, seekor Golden Retriever, dan selusin kucing aneka ras. “Dulu pernah ada 40 kucing di rumah ini,” kata Sugiyanto, yang menjabat Ketua Perkumpulan Kinologi Indonesia 1977-2002 dan pendiri Rumah Sakit Hewan Jakarta.

Dengan ingatan fotografis, Sugiyanto, 91 tahun, lancar menceritakan pengalamannya. Saking antusiasnya, sosok bertubuh ramping ini tak menyentuh makanan-minuman saat bercerita dari pagi hingga petang. Kebanggaannya sebagai mantan kombatan terpampang lewat brevet komando di kerah kemeja dan arloji Luminox bergambar lambang korps baret merah di pergelangan tangannya. “Kalau tidak ada saya, mungkin tidak ada Kopassus,” ucapnya.

***

Sebagai prajurit, Aloysius Sugiyanto menorehkan catatan penting dalam pengembangan TNI Angkatan Darat. Dia perwira generasi pertama yang terlibat dalam pembentukan serta pengembangan satuan parakomando, yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus. Sugiyanto-lah yang mencari dan menemukan Mochamad Idjon Djanbi, pelatih dan komandan pertama pasukan khusus tersebut.

***

SAAT itu, pertengahan 1951, saya mendapat perintah mencari pelatih untuk membentuk pasukan komando, pasukan berkemampuan tempur individual yang tinggi. Pembentukan pasukan semacam itu adalah ide senior sekaligus atasan saya, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, sebelum ia gugur dalam operasi penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon. Pak Slamet terkesan menghadapi musuh kami saat itu, yang rata-rata bekas pasukan khusus tentara Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands Indisch Leger/KNIL). Tugas ini pun menjadi tantangan bagi saya selepas lulus dari kursus intelijen tempur atau Combat Intelligence Course pertama yang diselenggarakan Angkatan Darat.

Saya tahu kala itu belum ada perwira pribumi yang menguasai teknik pertempuran komando seperti pasukan yang kami hadapi di Ambon. Karena itu, pencarian kandidat pelatih mengerucut pada para mantan tentara KNIL, yang tersebar di banyak tempat. Di tengah pencarian, muncul informasi yang menyebutkan di Bandung ada bekas tentara Belanda yang menjadi muslim dan menikah dengan perempuan Sunda. Namanya Mochamad Idjon Djanbi.

Markas Besar Angkatan Darat memerintahkan saya mencari dia. Sebelum pergi, saya berusaha memastikan informasi yang ada. Sedikit petunjuk unik muncul, yaitu inisial namanya MID. Saya berpikir itu semacam kode yang merujuk pada Dinas Intelijen Militer Belanda, Militaire Inlichtingen Dienst. Pelacakan kemudian berlanjut dan ada fakta baru bahwa Idjon Djanbi tinggal di kawasan Lembang, Bandung Utara, menjadi petani bunga. Untuk menjadi mualaf, dia bahkan sempat menjalani khitan di sebuah rumah sakit di Cimahi.

Di dataran tinggi Cihideung, di tengah hamparan kebun bunga mawar, kami pun bertemu. Dan benar, Djanbi, yang bernama asli Rokus Bernardus Visser, adalah bekas kapten di satuan Korps Speciale Troepen atau pasukan penerjun baret merah KNIL. Dia juga punya pengalaman bertempur di Eropa dan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…