Ismid Hadad: Gerakan Dari Bawah

Edisi: Edisi / Tanggal : 2022-02-19 / Halaman : / Rubrik : MEM / Penulis :


PERBINCANGAN dengan Abdurrahman Wahid pada 1972 itu berlangsung cukup panjang. Saat itu Gus Dur—panggilan akrab Abdurrahman Wahid—telah menetap di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, sepulang dari studinya di Bagdad, Irak. Baru sekitar satu tahun mengajar di Jombang, Gus Dur mulai sering datang ke Jakarta, di antaranya mampir dan mengobrol di kantor Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Ketika itu, saya sudah menjadi bagian dari pemimpin LP3ES.
Suatu hari dia datang dan berbicara di kamar kerja saya. Tidak seperti orang lain, saya tidak pernah menyebutnya “Gus”. Sebagai sesama orang Jawa Timur, saya menyapanya dengan panggilan “Cak”. Adapun Gus Dur memanggil saya “Yid”—dari kata Sayid. Di kantor LP3ES itu, Gus Dur berujar, “Yid, aku iki entasno pok'o seko Jombang (Saya mohon dientas dari Jombang).”
Mendapati permintaan itu, saya balik bertanya, “Buat apa, Cak?”
Ia melontarkan jawaban yang membuat saya cukup terkejut. “Yo pengen kumpul karo konco-konco sampeyan sing pinter-pinter iku lho (Ya, ingin berkenalan dengan teman-temanmu yang pintar-pintar itu).”
Gus Dur lantas menyebutkan sederet nama, seperti Soedjatmoko, Sumitro Djojohadikusumo, Selo Soemardjan, dan Emil Salim. “Aku iki wong ndeso, ya mau belajar dari mereka.”
Begitu serius keinginannya itu, Gus Dur sampai mengatakan, jika diperlukan, ia akan menetap dan bekerja di Jakarta, tepatnya di LP3ES. Saya sempat bingung dengan ucapannya. “Sampeyan arep nyambut gawe opo, Cak (Kamu mau kerja apa)?” tanya saya yang langsung disahut oleh Gus Dur. “Sak karepe sampeyan (Terserah kamu).”
Singkat cerita, saya setuju menerima Gus Dur untuk bergabung dengan LP3ES. Saya memberinya sebuah meja kerja tepat di sebelah meja saya, di sebuah ruangan berisi tiga-empat orang. Dia juga mendapat mesin tik yang terpasang di dekat telepon. Selesai pemasangan meja kerja dan mesin tik itu, Gus Dur bertanya, “Aku ngapain?” Saya menjawabnya, “Sak karepe sampeyan.” Hari-hari pertama Gus Dur berkantor di LP3ES dihabiskannya untuk mengetik.
Ihwal keinginannya berkenalan dengan tokoh-tokoh penting, saya hanya sempat mengantar dan memperkenalkan Gus Dur dengan Soedjatmoko dan Emil Salim. Ternyata hubungan Gus Dur dengan Soedjatmoko yang berjalan lebih intens dan akrab sekali. Soedjatmoko pernah menyampaikan terima kasih kepada saya karena, dari perkenalan dan interaksinya dengan Gus Dur, dia justru lebih banyak belajar. Bukan sebaliknya.
Dari beberapa kali diskusi Soedjatmoko dengan Gus Dur dan teman-teman di LP3ES, kami melahirkan program pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren. Program itu dirintis oleh LP3ES bersama Gus Dur dan banyak pemimpin pesantren di Jawa dan luar Pulau Jawa. Program itu lantas menjadi “model pembangunan masyarakat dari bawah” yang banyak membawa dampak positif bagi lembaga pesantren ataupun komunitas dan lingkungan desa-desa sekitarnya.

Suasana kantor Majalah Prisma dan LP3ES, Jakarta, 2009/Dok.TEMPO/Novi Kartika
Rupanya, kesibukan Gus Dur pada hari-hari pertamanya berkantor di LP3ES adalah mengetik concept note.…

Keywords: Emil SalimAbdurrahman Wahid | Gus DurIsmid HadadLP3ESMajalah Prisma
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…