2025-01-20 13:35:50 Sejarah Aktual

Singkawang, Tempat Pertemuan Etnis Cina Dan Dayak

Singkawang terletak 145 kilometer di utara Pontianak. Kota yang semula menjadi bagian dari Kabupaten Sambas itu, pada Oktober 2001, berubah menjadi kota madya. Berpenduduk hampir 200 ribu jiwa, kota yang oleh orang Cina disebut sebagai San Keuw Jong itu kini menjadi kota perdagangan terbesar kedua di Kalimantan Barat setelah Pontianak. Namun perekonomian kota yang dipimpin wali kota etnis Cina pertama, Hasan Karman, ini sebenarnya bisa lebih berkembang, "Bila penduduk Singkawang yang merantau berinvestasi memajukan kampung halaman mereka," kata Hasan. Memang, kaum perantau ini rata-rata sukses di bidang ekonomi.

Perekonomian daerah ini dulu sebenarnya sudah maju. Sejak sekitar 150 tahun silam, salah satu daerah di Singkawang, Kaliasin, sudah menjadi pusat perdagangan garam. Pedagang dan penambang emas dari Monterado hampir selalu mampir di Singkawang. Para pedagang itu kebanyakan berasal dari Cina. Bisnis ekspor komoditas seperti karet dan kopra juga berkembang sampai ke Cina.

Keluarga Thjia, misalnya, sudah memiliki usaha dagang ekspor kopra dan karet bernama Thjia Hiap Seng sejak 1900. Sungai kecil?selebar sekitar tiga meter?yang hanya berjarak sekitar tujuh meter dari depan rumah keluarga Thjia dulu adalah muara sungai yang berfungsi sebagai pelabuhan. Menurut Thjia Thiam Piang, di situlah tempat bongkar-muat barang-barang dagangan. Bagian depan rumah keluarga yang terdiri atas dua tingkat berfungsi sebagai kantor perusahaan. Kini bagian rumah itu kosong, bagian lotengnya kotor tak terawat.

Singkawang, seperti halnya daerah lain di Kalimantan Barat, sejak dulu didominasi etnis Cina dan Dayak. Catatan sejarah menyatakan kedua etnis ini hidup berdampingan dengan harmonis. Kawin-mawin antara Cina dan Dayak sudah lumrah. Menurut Monsinyur Isak Doera, yang pernah bertugas sebagai pastor tentara pada 1967-1971 di Kalimantan Barat, antara etnis Cina dan Dayak saling menyebut sobat.

Keadaan berubah 180 derajat setelah terjadi Gerakan 30 September 1965. Praharanya menjangkau hingga ke Kalimantan Barat. Pasukan Gerakan Rakyat Sarawak (PGRS) dan Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang didukung pemerintah Presiden Soekarno melawan Malaysia yang dianggap sebagai negara boneka imperialis Inggris?dalam Ganyang Malaysia?yang menjadi sasaran. Kelompok yang mayoritas terdiri atas etnis Cina ini memang selalu memasuki perbatasan Malaysia-Indonesia di Kalimantan Barat ini. PGRS dan Paraku inilah yang ditumpas tentara karena dianggap komunis.

Yang menjadi masalah, bukan hanya orang yang benar-benar menjadi anggota kedua organisasi itu yang dibersihkan, tapi juga etnis Cina warga setempat. Menurut Monsinyur Isak, operasi intel dilakukan untuk menghasut etnis Dayak agar memusuhi Cina. Di mata intel, 90 persen etnis Cina adalah komunis. Tentara yang menyamar itu masuk ke kampung-kampung Dayak dan mendekati tokoh masyarakat setempat. Tentara membunuh beberapa tokoh Dayak, tapi tidak di kampung mereka, dan dikatakan bahwa sang tokoh dibunuh orang PGRS dan Paraku. "Hasutan itu mulanya tidak mempan. Cina dan Dayak tetap hidup rukun," kata Monsinyur Isak, yang sempat menguburkan tiga tokoh Dayak yang dibunuh intel. ?Apalagi etnis Cina di sana tidak pernah anti-PGRS dan Paraku.?

Tapi akhirnya berhasil juga etnis Dayak dihasut. "Rekayasa yang luar biasa," kata Monsinyur Isak. Tidak hanya demonstrasi untuk mengusir warga etnis Cina, tapi juga pembunuhan. Monsinyur Isak pernah melihat 20-an mayat orang Cina dibuang di sungai di daerah Senakin, sekitar 18 kilometer dari Pontianak. "Saya juga sempat melihat orang Dayak di jalan-jalan membawa potongan daging. Kalau Dayak sudah memutuskan perang, memang jadi runyam," katanya.

Menurut buku Tandjoengpoera Berdjoeang (1977), ada sekitar 27 ribu orang mati terbunuh dan lebih dari 100 ribu orang mengungsi. Warga Cina ada yang digiring ke beberapa daerah di Kota Singkawang, yaitu ke Gudang Tama, Kaliasin, Lirang, dan Kopisan. Mereka pengangguran dan tidak mendapat kesempatan bekerja.

"Kegiatan ekonomi nyaris berhenti pada 1967-1973, karena sebelumnya perekonomian dipegang etnis Cina," kata Monsinyur Isak. Banyak sekali pengemis Cina di jalan-jalan di Singkawang. Menurut Po Sun Tzet, warga asli Singkawang yang menjadi bagian dari masa itu, hingga 1970-an operasi militer masih gencar. Selalu saja ada warga etnis Cina yang ditangkap lalu hilang entah ke mana. Penduduk etnis Cina yang bepergian harus berbekal surat yang distempel kepala kampung, polisi, komando rayon militer, dan camat.

Nasib buruk etnis Cina Singkawang tak berhenti. Hingga generasi ketiga setelah masa pengusiran dulu masih saja ada yang terluput dari rehabilitasi. Menurut Indradi dari Institut Kewarganegaraan Indonesia, sejak diturunkan kebijakan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia pada 1980, sudah ada upaya memberikan surat keterangan identitas. Pertama, untuk 100 ribu orang yang terdata, dan pada 1992, ada lagi pemberian. "Setelah itu, dianggap selesai, tak ada lagi yang tak beridentitas," kata Indradi. Namun faktanya, hingga saat ini masih ada yang belum memperoleh kartu identitas, juga sulit memperoleh kesempatan pendidikan.

Di permukaan, San Keuw Jong telah menunjukkan bahwa etnis Cina berhasil bangkit dan mengungkapkan aspirasi mereka. Salah satu tonggaknya: mengadakan perayaan Cap Go Meh dengan sangat meriah. Namun, masih ada penduduk di sana yang terpasung oleh ?takdir? di masa lalu. Mereka tersisih dan minder. Dua wajah itu juga tecermin pada keluarga besar Thjia: mereka pernah besar, jatuh, pecah, dan kini kembali bersatu antara perantau Thjia yang kaya dan Thjia di Singkawang yang sederhana. Bagai bumi dan langit.

Dikutip dari artikel Majalah Tempo berjudul Dua Wajah San Keuw Jong   

Tempo/PDAT

Alamat
PDAT Gedung Tempo Jl. Palmerah Barat No. 8 Jakarta 12210

Kontak
Phone / Fax: 62-21 536 0409 (ext. 321) / 62-21 536 0408 WA : 62 838 9392 0723 Email : [email protected]