2025-03-24 21:46:10 Sejarah Aktual

Tradisi Permainan Kuda Lumping

Bau kemenyan menyengat hidung. Suara gendang dan gong terdengar bertalu-talu, ditingkah tetabuhan lainnya -- di sebuah arena yang dikelilingi puluhan orang. Di tengah-tengah arena itu seorang lelaki berdiri kaku dengan kedua kakinya mengangkang. Mengenakan pakaian warna-warni, dan berkacamata hitam, ia "mengendarai" kuda kepang -- kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu. Napasnya mendengus-dengus.

Seorang lelaki lain berdiri garang dengan sebatang cambuk di ungan kanan. Matanya hujam, mulutnya berkomat-kamit. Berkali-kali dilecutnya kaki pemain kuda lumping itu. Dan tiba-tiba sang kuda melompat-lompat ganas, lalu berlarian mengelilingi arena, sementara pawangnya menglkuti dan sesekali mencambuk dengan keras. Dengan satu isyarat, kuda jalang itu pun : berhenti. Pada saat itulah pemainnya mengunyah padi, beling dan minum air comberan ....

Sejak muda Partosugino, 19 tahun, sudah suka bermain jaran kepang atau jaran dor alias kuda kepang atau kuda lumping. Ayahnya, Trimorejo, dikenal sebagai salah seorang tokoh reog di Ponorogo, Jawa Timur. "Saya memang senang melakukan hal-hal aneh dan berbahaya yang jarang dilakukan orang lain," kata Parto. Kini ia memimpin grup reog Sederbana di Sala, beranggotakan delapan orang -- termasuk istrinya sendiri.dan Sumini, anak gadisnya.

Menurut Parto, adegan makan pecahan kaca itu bukan permainan sulap yang didukung gerak-gerik tipu. "Benar-benar dikunyah, ditelan, masuk perut. Yang dikunyah juga benar-benar beling,! katanya bersungguh-sungguh. Sejak muda, begitu ceritanya, ia sudah dilatih ayahnya bersemadi terutama pada malam Jumat Kliwon. Setelah mantap betul, lantas berpuasa Senin-Kamis, tidur di makam-makam atau di pembuangan sampah dan mempelajari-mantra-mantra.

Pada taraf inilah Parto berlatih makan beling. "Mula-mula dimakan dengan hati-hati, agar mulut, lidah dan gusi tidak tergores. Pada hari-hari pertama mulut berdarah, tapi selanjutnya jadi biasa," katanya. Parto mengaku tidak pernah sakit karena menelan beling. "Sebab saya mengunyahnya sampai lembut betul," sahutnya. Tapi teruuma berkat latihan yang ia lakukan sejak muda dan mantra-mantra.

Para pemain kuda lumping selalu mengenakan kacamata hitam. Menurut Partosugino dari Sala, "itu kan hanya supaya seram saja." Tapi bagi Tajin, penutup mata itu ternyau mampu menambah semangatnya. "Dengan begitu saya kan bisa melirik cewek-cewek yang nonton," ujarnya sambil tertawa. Bagi pemain lain, kacamata sekedar untuk berlindung dari debu.

Daerah lain juga mempunyai tradisi kuda lumping seperti Temanggung, Jawa Tengah. Majalah Tempo pada 1989 mendapati di daerah ini hampir setiap desa minimal punya satu grup. Saat ini tercatat 329 unit kuda lumping yang masing-masing beranggotakan 50 orang. Satu kelompok biasanya terdiri dari pemain musik, juru karawitan, dan penari. Daerah operasi mereka tak terbatas di seputar Temanggung. Beberapa grup kuda lumping yang punya prestasi sering mentas di TMII, Jakarta.

Sejak Maret 1989, atraksi kesenian kuda lumping yang melibatkan kesurupan, seperti mengunyah beling atau mengupas kelapa, dilarang di Temanggung. Larangan ini dikeluarkan oleh Kantor P dan K Kabupaten Temanggung karena kesurupan dianggap bukan bagian dari kesenian dan mencerminkan perilaku irasional. Untuk tampil, rombongan kuda lumping harus memiliki Surat Izin Menari (SIM); tanpa izin tersebut, mereka tidak diperbolehkan tampil atau bahkan berlatih, dan akan dianggap sebagai grup liar.  Liputan Majalah Tempo Lainnya :

Tempo/PDAT

Alamat
PDAT Gedung Tempo Jl. Palmerah Barat No. 8 Jakarta 12210

Kontak
Phone / Fax: 62-21 536 0409 (ext. 321) / 62-21 536 0408 WA : 62 838 9392 0723 Email : [email protected]