Sejarah Quick Count - Hitung Cepat di Indonesia Kapan Mulai Diterapkan
Bukan cuma Nostradamus, peramal Prancis abad ke-16, yang bisa terkenal karena kejituan meramal. Di sini ada tiga lembaga survei yang kini melejit namanya seiring dengan pengumuman resmi hasil pemilu 5 Mei 2004 lalu. Ketiganya--LP3ES, IFES, dan LSI--dianggap mampu jitu meramal hasil pemilu lewat jajak pendapat dan survei mereka.
LP3ES, misalnya. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial yang berdiri pada 19 Agustus 1971 ini tidak hanya terbukti akurat memprediksi urutan partai politik pemenang pemilu. Perolehan suara partai peserta pemilu pun tidaklah terpaut jauh dari hasil resmi--ini pun sesuai dengan ramalan LP3ES. Contohnya, LP3ES memperkirakan Partai Golkar bisa meraih 22,7 persen suara pemilih, PDI Perjuangan 18,8 persen, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 10,7 persen, Partai Amanat Nasional (PAN) 6,4 persen, Partai Bulan Bintang (PBB) 2,6 persen, dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) 2,1 persen. Bandingkan dengan angka resmi Komisi Pemilihan Umum: Partai Golkar 21,8 persen, PDIP 18,53, PKB 10,57 persen, PAN 6,44 persen, PBB 2,62 persen, dan PKPB 2,11 persen.
Yang mengejutkan, rata-rata perbedaan hasil survei LP3ES dan hasil resmi pemilu keenam partai tersebut 0,265 persen saja! Angka itu menjadi jauh lebih kecil bila perolehan ke-24 partai politik peserta pemilu dihitung, cuma 0,15 persen!
LP3ES memperoleh data tersebut melalui metode quick count, mengamati dan mencatat langsung dari tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pencoblosan, lalu memprediksi. "Kami memperoleh data dari 2.000 TPS di 69 daerah pemilihan," kata peneliti senior LP3ES, Rustam Ibrahim.
Prediksi Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan International Foundation for Election Systems (IFES) juga tak kurang akurat. Selain berhasil memperkirakan urutan lima besar partai politik pemenang pemilu, LSI dan IFES membuktikan bahwa dua partai baru, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat, mampu melampaui batas threshold 3 persen.
Juga mengejutkan, dua lembaga tadi tidak hanya piawai memperkirakan pelbagai kemungkinan di pentas politik Indonesia. Keberadaan LSI dan IFES sendiri tak kurang mengagetkan publik: dalam waktu relatif singkat, keduanya mampu membuktikan kredibilitas tinggi dalam akurasi. Padahal, menurut Muhammad Qodari, usia LSI belum genap setahun. "Resminya berdiri Juli tahun lalu. Sebulan kemudian, kami mulai riset," kata Direktur Riset LSI ini. Sedangkan IFES lima tahun lebih tua. Bagian dari jaringan yang meliputi Selandia Baru, Kanada, Australia, dan Amerika Serikat ini berdiri pada 1998.
LSI, yang bernaung di Yayasan Pengembangan Demokrasi, didirikan antara lain oleh T.P. Rachmat dan Denny J.A., masing-masing pengusaha dan peneliti ternama. Untuk menjaga kredibilitas survei secara akademis dan etis, di Dewan Penasihat LSI duduk sejumlah nama besar, seperti Takashi Shiraishi dan William Liddle, pakar ilmu politik dari Ohio University, serta Sri Adiningsih, ekonom dari Universitas Gadjah Mada.
Toh, LSI tetap rentan masalah etika. Dua pekan lalu, sebuah surat kabar terkemuka menuding Denny J.A. dan jajaran peneliti LSI sebagai partisan dan mengkampanyekan Susilo Bambang Yudhoyono, salah satu calon presiden. Yang kerap mengikuti diskusi politik dengan Denny atau peneliti LSI lain sebagai narasumber menyimpulkan, tulis media itu, "(mereka) tampak condong mendukung Yudhoyono dengan dasar persepsi mayoritas responden nasional itu (yang) membosankan dan partisan."
Denny pun tersinggung. Ia dan dua rekannya lalu mendatangi kantor media tersebut. "Jika data itu memang apa adanya, mengapa dikatakan kampanye?" kata Denny di koran yang sama esoknya. Qodari juga terheran-heran. "Itu hanya akan dilakukan lembaga riset yang siap mati muda," katanya kepada TEMPO.
Rustam seangguk. Menurut peneliti senior ini, bila datanya memang dari lapangan, sukar menuding LSI berkampanye. Hanya, ujarnya, "Persoalan selanjutnya, apakah orang-orang LSI itu independen atau tidak?" Maksud Rustam, apakah mereka bagian dari tim sukses calon tertentu.
Tapi, bagi peneliti senior dan Direktur Polling Center Yanti B. Sugarda, tidak ada salahnya lembaga riset berinteraksi, bahkan menjadi bagian kepentingan politik. Ia mencontohkan, di Amerika, orang mengenal lembaga survei seperti National Democratic Institute atau International Republican Institute. "Tapi ya jangan sekali-kali (mereka) mengatakan dirinya netral," katanya.
Quick Count yang dimaksud adalah sistem perhitungan suara cepat sebagai salah satu sistem dalam pemantauan pemilihan presiden yang akan dilakukan.
Sebagai sebuah sistem, ada badan bernama National Democratic Institute atau NDI di belakangnya. Jangan salah, NDI bukanlah lembaga yang menyelenggarakan sistem ini. Lembaga ini hanya memberi bantuan teknis pada sejumlah lembaga lokal independen lain yang menjadi partnernya.
NDI adalah organisasi internasional yang dibentuk pada 1983 sebagai wadah bagi para praktisi demokrasi di seluruh dunia. NDI secara aktif menjalankan programnya di sekitar 70 negara. "Salah satunya adalah Indonesia yang menjadi salah satu negara terbesar di dunia yang kami ajak bekerja sama," kata Paul Rowland, Direktur NDI Indonesia.
Sebenarnya NDI sudah ada di Indonesia sejak 1996. Kala itu, lembaga ini kerap bekerja sama dengan sejumlah aktivis masyarakat sipil yang menginginkan demokrasi berkembang di Indonesia. Baru sekitar 1998, saat pemerintahan Soeharto tumbang, NDI baru benar-benar diizinkan di Indonesia. "Kami tidak berniat lain selain ingin membantu menciptakan demokrasi lewat masyarakat yang independen dalam pemilu," kata Rowland. Pada 1999, NDI baru lebih terbuka mengemukakan isu ini bersama para aktivis masyarakat sipil. Awalnya kecil saja, tapi berkembang dengan cepat di kemudian hari. NDI bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil, partai politik, DPR dan MPR mendorong pemilu yang jujur dan adil dan mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter.
Sumber Diolah Majalah Tempo dan Koran Tempo